Semoga Anda dalam keadaan sehat wal afiat saat membaca tulisan ini. Saya menulis terkait dengan pilihan saya dalam pemilihan presiden yang akan datang.
Kemarin saya menerima telepon dari Pak Jokowi, mengundang saya untuk membantu dalam perjalanan ke depan. Begitu juga dengan Pak Jusuf Kalla, beliau juga menelpon dan menyampaikan undangan yang sama. Sebagai warga negara dan sebagai kawan baik mereka, saya harus menjawab dan menentukan sikap. Di sini kemudian saya melihat kembali pikiran dan kegiaatan yang selama ini kita sama-sama jalankan.
Sebagaimana yang sering saya sampaikan dalam dialog dan diskusi di Turun Tangan. Kita harus mendorong orang baik agar bersedia memasuki arena politik dan mendorong agar kita semua bersedia membantu agar mereka bisa mendapatkan otoritas untuk mengelola negara ini.
Saya sadar sekali bahwa kita bukan sedang mencari manusia sempurna. Jadi, jangan berharap akan hadir figur sempurna. Dalam pemilihan presiden ini kita akan menentukan pada siapa otoritas negeri ini akan dititipkan. Di Indonesia ada banyak pemimpin. Kitapun bisa memilih pemimpin kapan saja tapi pergantian pemegang otoritas negeri ini hanya berlangsung sekali dalam 5 tahun. Pertanyaan yang tiap kita harus jawab adalah pada pemimpin yang mana otoritas itu akan diberikan? Otoritas untuk mengatasnamakan kita selama 5 tahun ke depan, untuk mengelola uang pajak kita, untuk menentukan arah perjalanan pemerintahan dan sebagainya.
Saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada dua pilihan pasangan calon pemegang otoritas: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Itu adalah fakta. Pada pasangan mana otoritas akan kita titipkan?
Seperti saya tulis dalam email sebelumnya, perjuangan kita di Gerakan Turun Tangan bukan membawa cita-cita untuk meraih otoritas. Kita membawa misi untuk dijalankan karena itu kita memerlukan otoritas. Kita membawa misi agar kebijakan yang dihasilkan oleh proses politik ini adalah kebijakan yang berfokus pada kualitas manusia berdaulat yang sehat, terdidik dan makmur dalam sebuah masyarakat yang berkepastian hukum. Indonesia yang berkeadilan sosial. Itu misi kita.
Perjuangan kita selama ini sudah berhasil membangun kesadaran bahwa orang baik harus turun tangan membantu orang-orang terpercaya agar bisa terpilih menjadi wakil rakyat dan menjadi pemegang otoritas kepemimpinan di pemerintahan. Jika proses politik yang terjadi tidak memungkinkan mendapatkan otoritas itu, sebagaimana yang dialami sekarang, maka kita akan terus bawa misi itu dalam berbagai kegiatan kita. Dan tentu saja misi inipun bisa dititipkan pada orang lain yang kita percayai serta bersedia untuk menjalankannya.
Masalah yang dihadapi Indonesia hari ini masih banyak yang tergolong masalah primer dan mendasar: pangan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan sebagainya. Hambatan terbesar untuk memajukan juga masih sama, diantaranya maraknya korupsi dan belum terciptanya tata-kelola pemerintahan yang baik. Siapapun yang diberi otoritas untuk mengelola negara ini harus membereskan masalah yang elementer ini.
Setelah 15 tahun lebih reformasi berjalan, saya merasa Indonesia kita memerlukan penyegaran. Perlu cara pandang baru, semangat baru, pendekatan baru, cara kerja baru, dan bahkan orang baru. Baru memang bukan soal usia, walau memang usia muda sering diasosiasikan dengan baru. Kepemimpinan di pemerintahan perlu kebaruan. Saya melihat unsur kebaruan ini diperlukan untuk membuat terobosan dan membongkar berbagai kemacetan dalam pengelolaan negara ini.
Sebagaimana yang saya sering sampaikan, jangan diam dan mendiamkan maka sayapun harus konsisten untuk memilih dan membantu sesuai dengan kriteria saya.
Di sinilah kemudian saya merasa pasangan Jokowi-JK lebih sesuai. Mereka berdua tidak sepenuhnya kombinasi kebaruan karena Jusuf Kalla adalah tokoh senior, pernah jadi Wakil Presiden. Tapi potensi memunculkan kebaruan dan terobosan dari pasangan Jokowi-JK ini terlihat lebih besar. Ada lebih besar harapan bahwa pasangan ini bisa menjalankan misi yang disebut diatas secara lebih optimal. Dengan latar belakang misi yang selama ini kita jalankan maka saya menyatakan bersedia untuk membantu pasangan Jokowi-JK.
Melalui email ini, keputusan tersebut saya sampaikan secara langsung pada semua teman-teman yang selama ini berjalan bersama dalam Gerakan Turun Tangan. Ini dilakukan sebelum saya menjawab secara terbuka pada publik/umum. Email inipun dikirim kepada Anda sebelum ada penjelasan terbuka. Walau di media sudah beredar berbagai spekulasi, tapi saya ingin memastikan bahwa Anda mendengar kabar ini bukan dari media massa tapi langsung dari saya sendiri.
Semua ini berjalan amat cepat tapi itulah hidup, kita memang selalu siap dan berani ambil pilihan lalu hadapi, sebagaimana slogan kita semua sebagai pejuang.
Pilihan ini adalah pilihan saya pribadi sebagai warga negara yang menyatakan turun tangan, dan menyatakan siap membantu. Anjuran saya pada anda adalah jangan diam dan mendiamkan. Seperti yang saya sampaikan dalam email kemarin: lihat masalah utama Indonesia, lihat track-recordnya, kaji rencana kerjanya, kuasai informasi tentang mereka lalu tentukan pilihan. Jangan cari manusia sempurna. Sebagaimana yang selama ini sering dikatakan, bantu orang baik yaitu orang bersih/tak bermasalah dan kompeten. Lalu ajak lingkungan anda untuk berdiskusi dan menentukan sikap.
Perjalanan kita masih panjang. Ikhtiar kita untuk mendorong orang baik terus kita jalankan. Gerakan Turun Tangan saat ini belum menyusun perangkat organisasi untuk mengambil keputusan dan sikap. Walau Turun Tangan sebagai sebuah institusi tidak terlibat dalam kegiatan Pilpres bulan Juli 2014 ini, tetapi semua simpatisan dan relawan dianjurkan untuk terus melakukan pendidikan politik dan kesadaran perlunya terlibat . Setiap kita memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihan diantara dua pasangan yang berhak menjadi calon dalam Pemilihan Presiden. Saya telah menentukan pilihan, saya harap anda bisa segera menentukan pilihan sesuai dengan prioritas anda.
Saya perlu garis bawahi, apapun pilihan kita itu adalah karena kecintaan kita pada Indonesia dan komitmen kita untuk memanjukan bangsa tercinta ini. Dengan begitu pilihan ini tidak boleh menyebabkan permusuhan. Lawan beda dengan musuh. Lawan debat adalah teman berpikir, lawan badminton adalah teman berolah raga. Beda dengan musuh yang akan saling menghabisi, lawan itu akan saling menguatkan.
Berbeda pilihan itu biasa, tidak usah risau apalagi bermusuhan, rilex saja. Jangan kita terlibat untuk saling menghabisi. Mari kita semua turun tangan untuk saling menguatkan, untuk saling mencintai Indonesia dan untuk membuat kita semua bangga bahwa kita jaga kehormatan dalam menjalani proses politik ini.
Terima kasih dan salam hangat dari Jakarta.
Anies Baswedan
Source - http://aniesbaswedan.com/tulisan/pilihan-anies-baswedan-menjelang-pilpres-2014
Kumpulan blog-post tentang Jokowi.. Yuk intip apa kata mereka tentang Jokowi... Salam 2 Jari
Rabu, 25 Juni 2014
Jangan Memilih Jokowi Karena Kill the DJ
Jangan Memilih Jokowi Karena Kill the DJ
Akhir-akhir ini banyak pertanyaan dari beberapa penggemar melalui twitter dan facebook, “kenapa mendukung Jokowi?”. Banyak penggemar berharap bahwa sebagai musisi atau seniman seharusnya aku netral. Tentu saja sebagian besar penggemar itu juga “sedulur” dan “bregada” dari Jogja Hip Hop Foundation yang selalu menemani kami dari panggung ke panggung. Karena tidak mungkin aku menjawab pertanyaan, melalui tulisan ini, ijinkan aku menyapa kalian semua dan menjelaskan alasan-alasan dengan bahasa yang paling sederhana agar kalian bisa memahami.
Bagi kalian yang berumur 30 tahun ke bawah, tentu tidak pernah benar-benar mengerti arti dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena tidak merasakan susahnya jaman orde baru. Di jaman orde baru, kebebasan berekspresi dan berpendapat dikekang, jika kalian mengkritik negara atau pejabat, maka kalian akan dianggap subversif (pemberontak). Bahkan, jika kamu menjadi bagian dari aktivis yang memperjuangkan demokrasi, kamu bisa saja diculik atau mati dihilangkan. Sebuah unit yang dikenal dengan Tim Mawar dibawah asuhan Prabowo Subianto, yang saat ini maju menjadi calon presiden dibentuk untuk meredam para aktivis yang memperjuangkan demokrasi. Banyak teori konspirasi di belakang kasus ini, termasuk para atasan Prabowo yang dulu ikut menandatangani surat pemecatan dirinya. Aku memilih tidak mau berasumsi dan berspekulasi, tapi punya tuntutan yang jelas agar segala misteri berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia itu bagaimanapun harus diungkap untuk rasa keadilan, agar selamanya bangsa kita tidak dibangun dengan kebohongan demi kebohongan. Karena yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan (Gus Dur).
Sekarang, coba bandingkan dengan kenyamanan kita saat ini ketika menggunakan twitter atau facebook untuk sekedar berbagi, curhat, atau bahkan mengkritik negara, termasuk mention presiden kita @SBYudhoyono. Tapi yang harus kalian ingat, bahwa kebebasan kita hari ini diperjuangkan dengan darah dan nyawa oleh para aktivis mahasiswa. Sayangnya, setelah 16 tahun agenda reformasi, demokrasi kita tersandra oleh partai-partai politik busuk yang hanya peduli dengan kepentingan golongan mereka sendiri. Partai-partai politik yang sebagian besar lahir paska ’98 itu sudah tidak lagi peduli dengan cita-cita reformasi, juga sudah lupa dengan darah dan nyawa yang telah memperjuangkan demokrasi sehingga saat ini mereka bisa berpolitik secara bebas. Bahkan diktator Soeharto dihidupkan dari kubur dengan kalimat “isih penak jamanku to?” Omong kosong! Kebebasan itu seperti udara, kita baru terasa arti pentingnya ketika hal itu hilang dari kehidupan kita.
Dalam perjalanan Indonesia menjadi negara demokrasi sesungguhnya, di pemilihan presiden 2014 ini secara natural seleksi alam terjadi, mereka yang hanya mengamankan kepentingan kekuasaan berkumpul dalam satu koalisi bagi-bagi kursi yang mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Rekam jejak para elite partai-partai pendukungnya jauh dari kata bersih, tentu kalian masih ingat korupsi sapi PKS, lumpur Lapindo Bakrie Ketum Golkar itu, korupsi dana haji Surya Darma Ali, dan masih banyak lagi. Bahkan mereka menerima berbagai macam ormas keagamaan yang sering mencederai prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam barisan koalisinya.
Sebagai pendukung Jokowi, aku tidak gelap mata, aku tahu eltie-elite partai di belakang Jokowi juga tidak sepenuhnya bersih. Bedanya hanya karena mereka menurut dengan cara bersih yang digunakan oleh Jokowi dan setuju untuk tidak bagi-bagi kekuasaan. Jokowi juga tidak mau disetir oleh parpol pendukungnya termasuk PDI-P yang mengusungnya menjadi calon presiden, itu kenapa Megawati menyerahkan semua keputusan koalisi dan cawapresnya kepada Jokowi.
Tidak ada yang sempurna dari semua kandidat calon presiden, Jokowi bukan nabi yang pantas didewakan, dia menempuh perjalanan sejengkal demi sejengkal untuk mengembalikan kedaulatan dan menyatukan sebuah tekad yang sama untuk Indonesia yang lebih baik. Jokowi adalah kehendak jaman, dan seperti biasa, pasti banyak kepentingan dan kuasa yang ingin mencegahnya dengan cara apa pun.
Seperti kita ketahui, di Indonesia politik uang sudah sedemikian dahsyat merusak demokrasi dan mentalitas warganya. Para politikus menghalalkan segala cara untuk berkuasa. Biaya politi yang sangat mahal itu tidak akan sebanding dengan gajinya ketika menjabat, akibatnya korupsi membabi-buta mereka lakukan ketika menjabat agar bisa balik modal. Belum lagi cukong-cukong yang memodali kampanye minta dimuluskan semua proyek-proyeknya. Selamanya ekonomi kerakyatan, kedaulatan pangan dan energi, tidak akan tercipta dari kondisi semacam itu.
Bagiku Jokowi adalah pencerahan dan antitesis karena tidak mau terjebak ke dalam lingkarang setan itu. Sebagaimana praktek demokrasi di negara maju, Jokowi juga mengajak rakyat pendukungnya untuk menyumbang dana kampanye dan penggunaannya dilaporkan secara terbuka. Kenapa demikian? Dia ingin mengajak masyarakat pendukungnya untuk terlibat dalam “kegembiraan politik” yang dia kampanyekan dengan patungan biaya kampanye, sehingga ketika menjabat sebagai presiden, dia mengembalikan amanahnya untuk melayani rakyat. Karena inti dari demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Apapun yang akan terjadi setelah pilpres, siapa pun yang menang, pasti banyak warga negara Indonesia yang akan bangga telah ikut memberikan sumbangsih bagi masa depan Indonesia yang lebih baik dengan berdiri di belakang Jokowi.
Aku berharap apapun pilihan kalian lakukanlah dengan cerdas dan mandiri, bukan karena citra, agama, partai, uang, dll. Citra? Selama 10 tahun kita pernah dipimpin oleh presiden yang dipilih karena citra ganteng, pandai bernyanyi, santun berpidato, dan kalian semua tahu apa hasilnya. Agama? Tidak ada hubungannya antara agama dan politik, karena agama mengajarkan kebaikkan dan cinta kasih, sementara politik mengajarkan sikap oportunis yang akan mengesampingkan nila-nilai agama. Partai? Semua partai busuk dan aku bukan simpatisan PDI-P, aku juga menghadang Prabowo ketika maju menjadi cawapres Megawati di pilpres 2009, bedanya saat itu media sosial belum seheboh sekarang ini. Uang? Politik uang adalah sumber dari segala sumber kejahatan penyelenggaraan negara sebagaimana sudah aku jelaskan di atas.
Jangan memilih Jokowi karena aku mendukungnya, tapi memilihlah karena kalian cerdas dan mau belajar sejarah bangsa ini. Jangan memilih Jokowi karena aku menjadi relawannya, tapi memilihlah karena kalian punya prinsip yang kuat dan tanpa rasa takut membela kebenaran! Jangan memilih Jokowi jika kalian ingin menjadi bagian dari fitnah, sebab fitnah adalah sikap yang tidak kstaria dan pecundang. Kecuali kalian rela menjadi bagian dari nilai-nilai yang busuk dan kotor itu. Sahabatku Anies Baswedan pasti setuju, karena jika kalian seorang muslim yang taat, kalian akan meneteskan air mata ketika diimami sholat oleh Jokowi dengan bacaan ayat-ayat Al Qur’an secara tartil. Bagaimana orang sebaik itu difitnah sedemikian rupa agar ketulusannya dibungkam.
Bagiku, jika dulu golput adalah perlawanan, sekarang golput adalah ketidak-pedulian, karena membiarkan kejahatan kembali berkuasa. Aku yang dulu golput permanen, kali ini dipaksa keadaan dan nurani untuk harus berpihak karena status negara dalam keadaan genting dan bahaya. Aku tidak mau demokrasi kembali tersandra oleh maling-maling dan aku dipaksa keadaan untuk turun tangan ikut memberikan andil menyelamatkannya.
Terakhir, dalam sebuah negara demokrasi yang kita sepakati (kecuali tidak sepakat), dukung-mendukung adalah hak setiap warga negara, sebagaimana golput juga hak yang dilindungi undang-undang. Tidak ada teori bahwa seorang seniman atau musisi harus netral atau golput, apalagi menganggap seniman netral sama dengan suci, itu omong kosong yang menggelikkan karena tidak ada orang suci di muka bumi ini. Pada pemilihan presiden di Amerika, Obama didukung oleh Jay-Z, Will-I-Am, Pearl Jam, Katty Perry, Tom Hanks, Steven Spielberg, dan masih banyak lagi. Mereka bukan hanya bernyanyi di panggung-panggung kampanye, tapi juga menyumbang dana dengan angka-angka yang fantastis, bukan seperti artis-artis Indonesia yang justru minta bayaran sangat tinggi ketika kampanye. Ironis ketika para musisi sering menuntut negara untuk melindungi industrinya tapi di saat bersamaan ikut merusak demokrasi itu sendiri.
Aku menjadi relawan Jokowi dan menyumbang lagu “Bersatu Padu Coblos No.2” secara sukarela tanpa bayaran. Sebab pada titik akhir, aku hanya ingin dikenang karena berkontribusi, bukan hanya pandai mengkritik. Pesanku, jadilah pemilih yang cerdas, mandiri, dan bermartabat.
Salam Revolusi Mental!
Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ
Source - http://killtheblog.com/2014/06/16/jangan-memilih-jokowi-karena-kill-the-dj/
“Marketingnya Jokowi Payah!”
Sebagai pelaku dunia advertising, namanya iklan dan kampanye merek apa aja pasti dlilihatin dan dibahas. Bahkan iklan Mastin sekalipun, walaupun akibatnya jingle sialan itu nempel di kepala (“KABAR GEMBIRA UNTUK KITA SEMUA…KULIT MANGGIS, KINI ADA EKSTRAKNYAAAA….” Aaaaaaaargghhh!!!) Kampanye capres pun tidak luput dari perhatian gw. Dan salah satu yang bikin gemes adalah kampanye capres Jokowi-JK. Kenapa?
Karena menurut gw kampanye Jokowi-JK BERANTAKAN BANGET.
Gw melihat bentuk kampanye Jokowi, entah itu di TV atau media sosial, seperti gak berpola. Hestek aja macem2, gak ada satu yang dominan. Ada #JokowiAdalahKita, ada #SalamDuaJari, #RevolusiMental, #JKW4P, #JokowiDay, dll, dll. Heran, hestek aja gak bisa seragam, harus macem2. Begitu juga dengan organisasi relawan, gak karu2an rasanya. Ada Kawan Jokowi, ada JANGKAR, ada Generasi Optimis, Bara JP, dll, dll.
Website pun acakadul. Ada jokowicenter.com, ada gerakcepat.com, ada faktajokowi.com, dan masih banyak lagi. Dan sampai sekarang gw gak tahu yang mana akun Twitter resmi Jokowi-JK yang harus diikuti, karena ada beberapa.
Kemudian urusan grafis. Heran, masalah grafis yang digunakan aja gak ada kesepakatan. Bentuknya macem2. Contohnya:
(ngeselin kan? Gak kompak, pada beda2 sendiri)
Kemudian urusan video YouTube aja. Berasa gak ada pola yang sama. Setiap video dukungan terasa beda-beda pesan dan stylenya, seenak udel yang bikin. Contohnya:
Kenapa sih gw emosi? Karena bagi praktisi komunikasi iklan, brand campaign seperti gw, gak ada yang lebih menakutkan daripada sebuah campaign yang tidak sinkron, tidak kompak, style yang berbeda-beda satu dengan yang lain, slogan yang beragam. Mengapa hal ini umumnya dibenci oleh praktisi iklan dan pemasaran? Karena ada dua hal:
1. Efektivitas pesan. Sebuah merek yang dalam satu periode tertentu berbicara hal yang berbeda-beda, maka ditakutkan audiens yang ditargetkan akan menjadi bingung. Sebenarnya pesan utamanya apa sih dari merek ini? Kami praktisi iklan biasanya menganjurkan kepada client agar punya pesan yang konsisten dan terintegrasi (bahasa kerennya IMC: Integrated Marketing Campaign). Maksudnya, silahkan berkomunikasi dengan berbagai saluran (iklan TV, cetak, radio, billboard, digital, event, dll.), tapi mbok ya pesannya rapih dan sebisa mungkin cukup satu pesan, satu slogan. Agar kemanapun target audiens menoleh, dia melihat pesan yang sama dan konsisten, jadi lebih “nempel” di benak pikiran. Selain pesan, gaya berkomunikasi juga dianjurkan untuk sama. Jangan sampe ada yang alay, ada yang hipster, ada yang dangdut pantura, semua campur aduk jadi satu. Jelek tuh buat brand-nya, kalau kata praktisi komunikasi pemasaran.
2. Efisiensi biaya. Kampanye iklan bukan hal yang murah. Membeli slot iklan TV itu mahal sekali, apalagi di acara populer seperti YKS, Dahsyat, dll. Apalagi ditambah memasang iklan di koran, di website, dll. Pesan yang berbeda-beda dengan gaya yang beragam membuat kemungkinan audiens menangkapnya menjadi berkurang, sehingga efisiensi biaya dipertanyakan. Karena itu dalam komunikasi pemasaran ditekankan kampanye yang rapi, sinkron, dan terintegrasi agar budget yang dikeluarkan client bisa optimal.
Karena itulah gw gemetz, gemetz, gemetz ngeliat betapa berantakannya komunikasi kampanye Jokowi. Tampak jelas tidak ada koordinasi dan komando yang jelas, sehingga hestek, slogan, tema, dan judul berkembang majemuk tergantung siapa yang membuatnya. Nah, kebetulan dalam dua kesempatan gw berinteraksi dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dengan tim kampanye Jokowi-JK, dan gw selalu mengeluhkan hal yang sama:
“Gaes, kenapa sih komunikasi Jokowi gak kompak gitu? Hestek aja gak bisa disatuin, gimana sih? Gak ada koordinasi yang rapi ya di antara kalian”
Dan anehnya, dua kali juga gw mendapat jawaban yang sama:
“Gak pa-pa mas, karena itu inisiatif sukarela pendukung. Kita biarkan mereka berekspresi sendiri2…”
Jujur awalnya gw gak puas banget denger jawaban itu. Sebagai praktisi iklan yang sudah mengerjakan berbagai kampanye brand belasan tahun, rasanya gemas melihat pelanggaran “prinsip-prinsip dasar komunikasi pemasaran” di depan mata. Sebagai simpatisan Jokowi-JK, tentunya tanpa sadar default setting gw adalah berharap “brand” Jokowi-JW bisa dikomunikasikan seefektif dan seefisien mungkin, layaknya brand-brand komersial umumnya. Gak apa-apa sih sukarela pendukung, tapi mbok ya dikomando dengan rapih. Pengennya, hanya ada SATU website untuk seluruh kegiatan kampanye mereka. Cukup satu saja hestek yang digunakan, satu design grafis, satu slogan, dan satu akun Twitter untuk kampanye. Kan enak dilihatnya? Kompak, konsisten, terintegrasi!
Tetapi setelah gw renungkan kemarin (dibantu dengan mencret2 karena keracunan makanan), gw mendapat pencerahan lain.
Komunikasi kampanye Jokowi-JK terkesan “berantakan”, karena diciptakan tulus oleh masyarakat pendukungnya yang juga plural, tanpa komando.
Apa yang dianggap oleh teori text-book komunikasi pemasaran sebagai kesalahan yang harus dihindari, justru menunjukkan sejatinya “brand” Jokowi. Yaitu “brand” yang dilahirkan bersama, dari rahim ide kita semua yang majemuk ini. Mereka yang rapper, mereka yang penulis, mereka yang pembuat film, mereka yang blogger, mereka yang mahasiswa, mereka yang politisi, mereka yang ibu rumah tangga, mereka yang petani, dan sejuta macam “mereka”. Gabungan jutaan “mereka” yang menjadi “KITA” inilah yang menyumbangkan mosaik sosok Jokowi. Dan itulah mengapa sosok Jokowi memiliki komunikasi beragam, “berantakan”, “tidak kompak”, karena dia menjadi milik kita bersama yang beragam juga. “Brand” Jokowi bukan merek yang didesign, di-engineer, dikonstruksi di sebuah kantor mewah perusahaan pemasaran. “Brand” Jokowi lahir dari kita yang Bhinneka.
Secara ilmu marketing, kampanye Jokowi bisa dibilang payah. Tetapi ini mungkin mencerminkan sosok beliau yang memang bukan seorang “marketer” ulung seperti Hermawan Kartajaya. Dia bukan pemasar mimpi, pengobral retorika. Tetapi dia adalah pelaku mimpi itu sendiri. Jokowi memang tidak pandai marketing, karena mungkin dia lebih memilih bekerja nyata daripada berjualan.
Selamat ulang tahun pak Jokowi. Marketing bapak memang payah! Tetapi justru dari situ saya melihat bahwa “brand” bapak memang milik kita. Bukan milik sekelompok elit yang pintar mendesain iklan, tetapi milik jutaan rakyat Indonesia, dengan beragam warna dan mimpinya, dengan segala ragam talentanya, dengan segala ke-Bhinneka-annya.
Tuhan memberkati bapak.
Source - http://manampiring17.wordpress.com/2014/06/21/marketingnya-jokowi-payah/
Karena menurut gw kampanye Jokowi-JK BERANTAKAN BANGET.
Gw melihat bentuk kampanye Jokowi, entah itu di TV atau media sosial, seperti gak berpola. Hestek aja macem2, gak ada satu yang dominan. Ada #JokowiAdalahKita, ada #SalamDuaJari, #RevolusiMental, #JKW4P, #JokowiDay, dll, dll. Heran, hestek aja gak bisa seragam, harus macem2. Begitu juga dengan organisasi relawan, gak karu2an rasanya. Ada Kawan Jokowi, ada JANGKAR, ada Generasi Optimis, Bara JP, dll, dll.
Website pun acakadul. Ada jokowicenter.com, ada gerakcepat.com, ada faktajokowi.com, dan masih banyak lagi. Dan sampai sekarang gw gak tahu yang mana akun Twitter resmi Jokowi-JK yang harus diikuti, karena ada beberapa.
Kemudian urusan grafis. Heran, masalah grafis yang digunakan aja gak ada kesepakatan. Bentuknya macem2. Contohnya:
(ngeselin kan? Gak kompak, pada beda2 sendiri)
Kemudian urusan video YouTube aja. Berasa gak ada pola yang sama. Setiap video dukungan terasa beda-beda pesan dan stylenya, seenak udel yang bikin. Contohnya:
Kenapa sih gw emosi? Karena bagi praktisi komunikasi iklan, brand campaign seperti gw, gak ada yang lebih menakutkan daripada sebuah campaign yang tidak sinkron, tidak kompak, style yang berbeda-beda satu dengan yang lain, slogan yang beragam. Mengapa hal ini umumnya dibenci oleh praktisi iklan dan pemasaran? Karena ada dua hal:
1. Efektivitas pesan. Sebuah merek yang dalam satu periode tertentu berbicara hal yang berbeda-beda, maka ditakutkan audiens yang ditargetkan akan menjadi bingung. Sebenarnya pesan utamanya apa sih dari merek ini? Kami praktisi iklan biasanya menganjurkan kepada client agar punya pesan yang konsisten dan terintegrasi (bahasa kerennya IMC: Integrated Marketing Campaign). Maksudnya, silahkan berkomunikasi dengan berbagai saluran (iklan TV, cetak, radio, billboard, digital, event, dll.), tapi mbok ya pesannya rapih dan sebisa mungkin cukup satu pesan, satu slogan. Agar kemanapun target audiens menoleh, dia melihat pesan yang sama dan konsisten, jadi lebih “nempel” di benak pikiran. Selain pesan, gaya berkomunikasi juga dianjurkan untuk sama. Jangan sampe ada yang alay, ada yang hipster, ada yang dangdut pantura, semua campur aduk jadi satu. Jelek tuh buat brand-nya, kalau kata praktisi komunikasi pemasaran.
2. Efisiensi biaya. Kampanye iklan bukan hal yang murah. Membeli slot iklan TV itu mahal sekali, apalagi di acara populer seperti YKS, Dahsyat, dll. Apalagi ditambah memasang iklan di koran, di website, dll. Pesan yang berbeda-beda dengan gaya yang beragam membuat kemungkinan audiens menangkapnya menjadi berkurang, sehingga efisiensi biaya dipertanyakan. Karena itu dalam komunikasi pemasaran ditekankan kampanye yang rapi, sinkron, dan terintegrasi agar budget yang dikeluarkan client bisa optimal.
Karena itulah gw gemetz, gemetz, gemetz ngeliat betapa berantakannya komunikasi kampanye Jokowi. Tampak jelas tidak ada koordinasi dan komando yang jelas, sehingga hestek, slogan, tema, dan judul berkembang majemuk tergantung siapa yang membuatnya. Nah, kebetulan dalam dua kesempatan gw berinteraksi dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dengan tim kampanye Jokowi-JK, dan gw selalu mengeluhkan hal yang sama:
“Gaes, kenapa sih komunikasi Jokowi gak kompak gitu? Hestek aja gak bisa disatuin, gimana sih? Gak ada koordinasi yang rapi ya di antara kalian”
Dan anehnya, dua kali juga gw mendapat jawaban yang sama:
“Gak pa-pa mas, karena itu inisiatif sukarela pendukung. Kita biarkan mereka berekspresi sendiri2…”
Jujur awalnya gw gak puas banget denger jawaban itu. Sebagai praktisi iklan yang sudah mengerjakan berbagai kampanye brand belasan tahun, rasanya gemas melihat pelanggaran “prinsip-prinsip dasar komunikasi pemasaran” di depan mata. Sebagai simpatisan Jokowi-JK, tentunya tanpa sadar default setting gw adalah berharap “brand” Jokowi-JW bisa dikomunikasikan seefektif dan seefisien mungkin, layaknya brand-brand komersial umumnya. Gak apa-apa sih sukarela pendukung, tapi mbok ya dikomando dengan rapih. Pengennya, hanya ada SATU website untuk seluruh kegiatan kampanye mereka. Cukup satu saja hestek yang digunakan, satu design grafis, satu slogan, dan satu akun Twitter untuk kampanye. Kan enak dilihatnya? Kompak, konsisten, terintegrasi!
Tetapi setelah gw renungkan kemarin (dibantu dengan mencret2 karena keracunan makanan), gw mendapat pencerahan lain.
Komunikasi kampanye Jokowi-JK terkesan “berantakan”, karena diciptakan tulus oleh masyarakat pendukungnya yang juga plural, tanpa komando.
Apa yang dianggap oleh teori text-book komunikasi pemasaran sebagai kesalahan yang harus dihindari, justru menunjukkan sejatinya “brand” Jokowi. Yaitu “brand” yang dilahirkan bersama, dari rahim ide kita semua yang majemuk ini. Mereka yang rapper, mereka yang penulis, mereka yang pembuat film, mereka yang blogger, mereka yang mahasiswa, mereka yang politisi, mereka yang ibu rumah tangga, mereka yang petani, dan sejuta macam “mereka”. Gabungan jutaan “mereka” yang menjadi “KITA” inilah yang menyumbangkan mosaik sosok Jokowi. Dan itulah mengapa sosok Jokowi memiliki komunikasi beragam, “berantakan”, “tidak kompak”, karena dia menjadi milik kita bersama yang beragam juga. “Brand” Jokowi bukan merek yang didesign, di-engineer, dikonstruksi di sebuah kantor mewah perusahaan pemasaran. “Brand” Jokowi lahir dari kita yang Bhinneka.
Secara ilmu marketing, kampanye Jokowi bisa dibilang payah. Tetapi ini mungkin mencerminkan sosok beliau yang memang bukan seorang “marketer” ulung seperti Hermawan Kartajaya. Dia bukan pemasar mimpi, pengobral retorika. Tetapi dia adalah pelaku mimpi itu sendiri. Jokowi memang tidak pandai marketing, karena mungkin dia lebih memilih bekerja nyata daripada berjualan.
Selamat ulang tahun pak Jokowi. Marketing bapak memang payah! Tetapi justru dari situ saya melihat bahwa “brand” bapak memang milik kita. Bukan milik sekelompok elit yang pintar mendesain iklan, tetapi milik jutaan rakyat Indonesia, dengan beragam warna dan mimpinya, dengan segala ragam talentanya, dengan segala ke-Bhinneka-annya.
Tuhan memberkati bapak.
Source - http://manampiring17.wordpress.com/2014/06/21/marketingnya-jokowi-payah/
Ban mobil tetangga.
“Menurut Mas Pandji, siapa yang akan bawa perubahan yang baik untuk Indonesia? Jokowi atau Prabowo?”
“Sama saja Pak.. Gak jauh beda”
Itu adalah jawaban paling jujur dari saya terkait Pemilu Presiden. Saya utarakan di Assembly Hall kemarin ketika jadi pembicara seminar tentang wirausaha.
Saya terus terang kesulitan untuk percaya 100% pada Jokowi. Saya jelas tidak 100% yakin Prabowo ini buruk.
Agama saya mengajarkan untuk berkhusnudzoon, dan nurani saya selalu terbiasa memberikan ruang untuk keraguan.
Orang yang terlalu yakin biasanya adalah yang tertimpa masalah belakangan.
Saya lebih senang mencermati & berpikir sebelum bertindak. Olahraga membantu mempercepat pengambilan keputusan sehingga saya tidak perlu jadi orang seperti SBY yang mikirnya katanya kelamaan.
Saya hanya 100% yakin kepada Anies Baswedan.
Alasannya sudah saya ungkap berkali kali di blog ini juga.
Saya masih kuatir akan kepatuhan Jokowi terhadap Megawati.
Tapi saya juga masih kuatir dengan tempramen Prabowo yang suka menggampar orang (Saya dapat kesaksian dari orang pertama beberapa kali soal ini).
Saya tidak suka lihat koalisi Prabowo dengan orang orang yang korup.
Tapi saya juga tahu dalam koalisi Jokowi yang digembar gemborkan sekurus Jokowinya sendiri ini ada orang orang seperti Wiranto & Hendropriyono yang terkait kasus HAM.
Kami menolak lupa.
Saya masih ingat ucapan JK tentang preman.
Saya juga masih ingat spesialnya anak Hatta Rajasa di mata hukum Indonesia
Saya rasa kalau Prabowo jadi Presiden tidak akan terjadi apa apa. Sama halnya dengan kalau Jokowi jadi Presiden tidak akan terjadi apa apa.
Masalah dalam kepresidenan itu muncul kalau sudah lebih dari 10 tahun. Sukarno & Soeharto 10 tahun pertama bagus kerjanya. Lebih dari itu, ketika Sukarno mulai cetuskan “Demokrasi Terpimpin” & Soeharto mulai lebarkan bisnis, mulailah seorang Presiden jadi berbahaya.
Kecenderungan yang tidak terjadi sekarang karena tidak boleh lagi seseorang menjabat jadi Presiden lebih dari 2 kali masa jabatan.
Saya mengagumi terorganisirnya kubu Prabowo. Tapi saya juga mengagumi kreativitas tanpa batas komando dari kubu Jokowi.
Sering saya terganggu dengan tidak jelasnya aturan kampanye Jokowi sehingga aksi pemukulan bisa terjadi di Jogja dilakukan oleh massa pendukung Jokowi yg konvoi dengan bising & meresahkan.
Tapi saya sering terganggu juga “dipukuli” massa pendukung Prabowo yang ada di jejaring sosial.
Lucu deh.
Dulu waktu masih bantu Mas Anies di konvensi, saya tidak pernah merasakan sama sekali serangan di socmed dari kubu Prabowo. Sama sekali.
Saya ingat pernah bicara live di KompasTV berkata bahwa pendukung Prabowo relatif santun & tweetnya seragam.
Justru ketika mulai ada koalisi dari PKS, PPP termasuk rombongan FPI bergabung ke kubu Prabowo, barulah saya merasakan gempuran ini.
Gempuran ini cukup familiar. Nama nama yang menggempur juga saya hafal. Ini mesinnya PKS sedang bekerja.
Ironis, karena saya pribadi merasa satu dari segelintir partai yang benar benar menjadi partai politik adalah justru PKS.
Mas Anies Baswedan pernah bilang “Partai di Indonesia itu kerjanya cuma kalo ada pemilu aja. Kalo ga ada pemilu jumlah pelaku & pekerjanya langsung menyusut”. Memang betul. Dari jumlah yang menyusut tadi, beberapa melakukan aktivitas pengumpulan dana utk partai, sisanya kumpul kumpul ga jelas.
Harusnya, partai itu bekerja sepanjang tahun. Melakukan pengkaderan. Sebuah pekerjaan, yang saya tahu persis dilakukan oleh PKS.
Ironisnya, justru yang kerjanya benar ini perilakunya ga enak.
Mungkin karena masih proses belajar. Entahlah.
Yang pasti saya senang senang saja diserang kubu itu di socmed. Kenapa?
Karena ketika mereka fokus kepada saya, berarti mereka tidak mengganggu orang orang lain yang justru akan goyah iman politiknya. Para swing voters.
Saya tidak akan terpengaruh.
Mereka hanya seperti pendukung Chelsea atau Liverpool atau Arsenal yang menggonggongi pendukung ManUtd.
Gak akan membuat kami pindah tim kesayangan sekeras apapun mereka menggonggong.
Merekapun tahu itu. Mereka tahu gonggongan mereka tidak akan buat saya pindah kapal. Mereka hanya ingin memuaskan nafsu mereka saja. Semacam masturbasi.
Ya biarlah. Nanti saya sediakan tissue untuk mereka.
Lalu dengan semua yang sudah saya tulis di atas, kenapa saya lalu memilih Jokowi atas Prabowo?
Sederhana. Cenderung dangkal. Tapi yang penting jujur:
Pertama, saya berpegangan pada pilihan orang orang yang saya tahu layak dipercaya: Faisal Basri & Anies Baswedan. Saya tidak malu untuk bertanya kepada orang yang saya percayai, daripada nyasar karena memutuskan untuk jalan sendiri.
Kedua, saya lihat orang orang yang menyatakan siap ikut bekerja bersama Jokowi kalau beliau jadi presiden. Orang orang ini, hebat hebat. Saya tahu orang orang ini. Mereka baru mau terlibat sekarang ketika Jokowi maju jadi capres. Sayang sekali kalau orang hebat ini tidak dimanfaatkan untuk Indonesia.
Ketiga, saya ingin bisa mempertanggung jawabkan pilihan saya.
Prabowo itu, jelas jelas dicopot dari jabatannya & dikeluarkan dari TNI. Mau secara hormat ataupun tidak, tidak ada yang
bisa dibanggakan dari dicopot jabatan Jendral & diminta keluar dari TNI.
Kubu Prabowo bilang, Prabowo tidak bersalah. Tidak ada buktinya. Lalu mereka lemparkan dokumen, tulisan & alasan mengapa Prabowo menurut mereka tidak bersalah. Tapi mari kita pakai akal sehat deh. Kalau memang Prabowo tidak bersalah, lalu kenapa beliau keluar dari TNI? Karena mau solo karir? Emang Anissa Cherrybelle?
Kata kubu Prabowo bukan Prabowo yang salah tapi atasannya yang memerintahkan.
Tapi kita pakai akal sehat lagi aja deh, kalo ada atasan yang suruh bawahannya korup, ya dua duanya salah juga lah.
Masak yang korup gak salah karena dia disuruh?
Masak maling rumah gak salah karena dia disuruh atasannya?
Kalo gitu saya gampar aja kpala anda & bilang saya disuruh.
Nah kalau yang pernah menculik orang bisa jadi Presiden, bagaimana caranya mendidik anak saya jadi orang yang baik?
“HEH!! Ngapain kamu mukulin anak tetangga nak? Jadi anak yang baik, yang soleh, nanti kamu ga bakal jadi apa apa kalo kelakuan kamu kayak gini…”
“Ah Ayah, Prabowo nyulik orang aja bisa jadi Presiden” ujar anak tersebut sambil bakar ban mobil tetangga.
Source - http://pandji.com/ban-mobil-tetangga/
“Sama saja Pak.. Gak jauh beda”
Itu adalah jawaban paling jujur dari saya terkait Pemilu Presiden. Saya utarakan di Assembly Hall kemarin ketika jadi pembicara seminar tentang wirausaha.
Saya terus terang kesulitan untuk percaya 100% pada Jokowi. Saya jelas tidak 100% yakin Prabowo ini buruk.
Agama saya mengajarkan untuk berkhusnudzoon, dan nurani saya selalu terbiasa memberikan ruang untuk keraguan.
Orang yang terlalu yakin biasanya adalah yang tertimpa masalah belakangan.
Saya lebih senang mencermati & berpikir sebelum bertindak. Olahraga membantu mempercepat pengambilan keputusan sehingga saya tidak perlu jadi orang seperti SBY yang mikirnya katanya kelamaan.
Saya hanya 100% yakin kepada Anies Baswedan.
Alasannya sudah saya ungkap berkali kali di blog ini juga.
Saya masih kuatir akan kepatuhan Jokowi terhadap Megawati.
Tapi saya juga masih kuatir dengan tempramen Prabowo yang suka menggampar orang (Saya dapat kesaksian dari orang pertama beberapa kali soal ini).
Saya tidak suka lihat koalisi Prabowo dengan orang orang yang korup.
Tapi saya juga tahu dalam koalisi Jokowi yang digembar gemborkan sekurus Jokowinya sendiri ini ada orang orang seperti Wiranto & Hendropriyono yang terkait kasus HAM.
Kami menolak lupa.
Saya masih ingat ucapan JK tentang preman.
Saya juga masih ingat spesialnya anak Hatta Rajasa di mata hukum Indonesia
Saya rasa kalau Prabowo jadi Presiden tidak akan terjadi apa apa. Sama halnya dengan kalau Jokowi jadi Presiden tidak akan terjadi apa apa.
Masalah dalam kepresidenan itu muncul kalau sudah lebih dari 10 tahun. Sukarno & Soeharto 10 tahun pertama bagus kerjanya. Lebih dari itu, ketika Sukarno mulai cetuskan “Demokrasi Terpimpin” & Soeharto mulai lebarkan bisnis, mulailah seorang Presiden jadi berbahaya.
Kecenderungan yang tidak terjadi sekarang karena tidak boleh lagi seseorang menjabat jadi Presiden lebih dari 2 kali masa jabatan.
Saya mengagumi terorganisirnya kubu Prabowo. Tapi saya juga mengagumi kreativitas tanpa batas komando dari kubu Jokowi.
Sering saya terganggu dengan tidak jelasnya aturan kampanye Jokowi sehingga aksi pemukulan bisa terjadi di Jogja dilakukan oleh massa pendukung Jokowi yg konvoi dengan bising & meresahkan.
Tapi saya sering terganggu juga “dipukuli” massa pendukung Prabowo yang ada di jejaring sosial.
Lucu deh.
Dulu waktu masih bantu Mas Anies di konvensi, saya tidak pernah merasakan sama sekali serangan di socmed dari kubu Prabowo. Sama sekali.
Saya ingat pernah bicara live di KompasTV berkata bahwa pendukung Prabowo relatif santun & tweetnya seragam.
Justru ketika mulai ada koalisi dari PKS, PPP termasuk rombongan FPI bergabung ke kubu Prabowo, barulah saya merasakan gempuran ini.
Gempuran ini cukup familiar. Nama nama yang menggempur juga saya hafal. Ini mesinnya PKS sedang bekerja.
Ironis, karena saya pribadi merasa satu dari segelintir partai yang benar benar menjadi partai politik adalah justru PKS.
Mas Anies Baswedan pernah bilang “Partai di Indonesia itu kerjanya cuma kalo ada pemilu aja. Kalo ga ada pemilu jumlah pelaku & pekerjanya langsung menyusut”. Memang betul. Dari jumlah yang menyusut tadi, beberapa melakukan aktivitas pengumpulan dana utk partai, sisanya kumpul kumpul ga jelas.
Harusnya, partai itu bekerja sepanjang tahun. Melakukan pengkaderan. Sebuah pekerjaan, yang saya tahu persis dilakukan oleh PKS.
Ironisnya, justru yang kerjanya benar ini perilakunya ga enak.
Mungkin karena masih proses belajar. Entahlah.
Yang pasti saya senang senang saja diserang kubu itu di socmed. Kenapa?
Karena ketika mereka fokus kepada saya, berarti mereka tidak mengganggu orang orang lain yang justru akan goyah iman politiknya. Para swing voters.
Saya tidak akan terpengaruh.
Mereka hanya seperti pendukung Chelsea atau Liverpool atau Arsenal yang menggonggongi pendukung ManUtd.
Gak akan membuat kami pindah tim kesayangan sekeras apapun mereka menggonggong.
Merekapun tahu itu. Mereka tahu gonggongan mereka tidak akan buat saya pindah kapal. Mereka hanya ingin memuaskan nafsu mereka saja. Semacam masturbasi.
Ya biarlah. Nanti saya sediakan tissue untuk mereka.
Lalu dengan semua yang sudah saya tulis di atas, kenapa saya lalu memilih Jokowi atas Prabowo?
Sederhana. Cenderung dangkal. Tapi yang penting jujur:
Pertama, saya berpegangan pada pilihan orang orang yang saya tahu layak dipercaya: Faisal Basri & Anies Baswedan. Saya tidak malu untuk bertanya kepada orang yang saya percayai, daripada nyasar karena memutuskan untuk jalan sendiri.
Kedua, saya lihat orang orang yang menyatakan siap ikut bekerja bersama Jokowi kalau beliau jadi presiden. Orang orang ini, hebat hebat. Saya tahu orang orang ini. Mereka baru mau terlibat sekarang ketika Jokowi maju jadi capres. Sayang sekali kalau orang hebat ini tidak dimanfaatkan untuk Indonesia.
Ketiga, saya ingin bisa mempertanggung jawabkan pilihan saya.
Prabowo itu, jelas jelas dicopot dari jabatannya & dikeluarkan dari TNI. Mau secara hormat ataupun tidak, tidak ada yang
bisa dibanggakan dari dicopot jabatan Jendral & diminta keluar dari TNI.
Kubu Prabowo bilang, Prabowo tidak bersalah. Tidak ada buktinya. Lalu mereka lemparkan dokumen, tulisan & alasan mengapa Prabowo menurut mereka tidak bersalah. Tapi mari kita pakai akal sehat deh. Kalau memang Prabowo tidak bersalah, lalu kenapa beliau keluar dari TNI? Karena mau solo karir? Emang Anissa Cherrybelle?
Kata kubu Prabowo bukan Prabowo yang salah tapi atasannya yang memerintahkan.
Tapi kita pakai akal sehat lagi aja deh, kalo ada atasan yang suruh bawahannya korup, ya dua duanya salah juga lah.
Masak yang korup gak salah karena dia disuruh?
Masak maling rumah gak salah karena dia disuruh atasannya?
Kalo gitu saya gampar aja kpala anda & bilang saya disuruh.
Nah kalau yang pernah menculik orang bisa jadi Presiden, bagaimana caranya mendidik anak saya jadi orang yang baik?
“HEH!! Ngapain kamu mukulin anak tetangga nak? Jadi anak yang baik, yang soleh, nanti kamu ga bakal jadi apa apa kalo kelakuan kamu kayak gini…”
“Ah Ayah, Prabowo nyulik orang aja bisa jadi Presiden” ujar anak tersebut sambil bakar ban mobil tetangga.
Source - http://pandji.com/ban-mobil-tetangga/
Saya Memaafkan Prabowo.
Ini bukan tulisan sindiran. Ini sungguhan.
Kita sering lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Banyak sekali hal tergantung dengan cara kita dibesarkan, keluarga kita, nilai-nilai yang ditanamkan di kita, lingkungan kerja kita, pertemanan kita.
Tidak ada manusia yang sempurna. Tak akan pernah ada. Kita bukan Tuhan. Yang sedang menulis ini? Jauh dari sempurna dan banyak dosa hitam dan kekurangan saya yang kamu tidak akan pernah tahu, sehingga saya tidak pantas membenci orang karena kesalahan mereka.
Prabowo dengan pelanggaran HAM-nya, penculikan aktifisnya, indikasinya sebagai salah satu tokoh di balik kerusuhan 98 yang menjadikan banyak orang-orang keturunan Tionghoa seperti saya menjadi korban.
Hatta Rajasa dengan dugaan korupsi dan kedekatannya dengan mafia minyak serta permainannya dengan hukum untuk melepaskan anaknya.
Aburizal Bakrie dengan pengemplangan pajak dan keengganannya bertanggung-jawab atas Lapindo dan kesusahan ribuan rakyat Indonesia.
Saya sudah memaafkan mereka semua. Mungkin saja mereka manusia yang lebih baik dari saya, hanya Tuhan yang tahu pasti tentang itu.
Sungguh, kalau kamu bisa melihat hati saya sekarang: Hati saya sejuk, tidak ada emosi dan saya sudah memaafkan mereka. Manusia mana sih yang tidak pernah berbuat salah?
Tetapi.
Ada tetapi besarnya nih.
Tetapi memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang amat sangat berbeda.
Orang sering menyamakan dua hal yang berbeda ini. Banyak orang memilih Prabowo karena mereka sudah memaafkannya.
Tapi sekali lagi, ini adalah dua hal yang amat berbeda.
Paling gampang saya kasih contoh seperti ini.
Ingat kasus-kasus ketika terungkap ada babysitter-babysitter yang bersikap kejam ke anak-anak yang mereka jaga? Ingat video-video yang memperlihatkan mereka ini memukul, menampar dan membanting anak-anak? Ini contoh salah satunya (bahkan ada adegan si anak dibekep dengan kain karena tidak berhenti menangis)
*videonya terlalu dp buat dikopas ke mari, jadi gugel sendiri, see it at your own risk*
Saya sendiri seringkali tidak sanggup menonton. Sering saya skip dan hanya baca artikelnya tanpa memutar videonya. Ga kuat. Saya membayangkan diri saya menjadi orang-tua yang melihat rekaman tersebut, betapa hancur luluh lantak hati mereka ketika mengetahui kebenaran ini. Seorang teman dekat pernah mengalaminya sendiri.
Nah, buat mereka yang cukup dewasa, mereka yang sudah matang secara rohani dan kuat secara jiwa, sangat mungkin mereka memaafkan para babysitter ini. Saya sudah pernah melihat begitu banyak orang-orang yang disakiti begitu dalam, namun sanggup dan secara tulus memaafkan mereka yang menyakitinya. Tidak lagi ada amarah, tidak ada lagi air mata jika mengenang masa lalu itu. Jika bertemu, mereka berbincang, tidak ada lagi emosi dan makian. Hal itu sudah lewat, dimaafkan dan sudah selesai. Kita kagum dengan orang-orang dewasa seperti mereka.
Tetapi, jika ada orang tua yang masih mau meninggalkan anaknya berdua dengan si baby sitter yang pernah menampar, memukul dan membanting anaknya ketika mereka tidak ada, ini adalah hal yang tidak masuk di akal. Hanya orang tua yang tidak waras yang akan melakukan hal itu.
I have nothing against Prabowo, Hatta, Ical, Suryadharma Ali, and all of them personally. Kalau mereka mau makan malam di rumah saya, saya akan masak buat mereka dan saya akan jadi tuan rumah yang baik dan saya akan mencoba berbincang2 dan berkelakar dan mendengarkan cerita-cerita mereka. Saya akan siapkan makanan penutup dan buah, dan mungkin juga siapkan box-box plastik buat mereka yang mau bawa pulang makanan. Sungguh. I am not kidding.
Tetapi menitipkan mereka dengan amanah kekuasaan tertinggi ekonomi, hukum dan militer di negeri ini, setelah semua catatan-catatan yang pernah mereka perbuat? Itu adalah hal yang amat sangat berbeda teman.
“Dia hanya manusia yang bisa salah. Kita semua juga pernah salah kan?” adalah alasan yang sangat valid dan masuk akal untuk memaafkan dia sebagai seorang manusia, tapi alasan yang sangat tidak cukup untuk memilih dia sebagai seorang presiden yang akan memiliki kekuatan penuh di negeri ini.
You forgive the babysitter who hit your baby, but you will never let her anywhere near your child again.
Source - http://blog.edwardsuhadi.com/2014/06/21/saya-memaafkan-prabowo/
Kita sering lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Banyak sekali hal tergantung dengan cara kita dibesarkan, keluarga kita, nilai-nilai yang ditanamkan di kita, lingkungan kerja kita, pertemanan kita.
Tidak ada manusia yang sempurna. Tak akan pernah ada. Kita bukan Tuhan. Yang sedang menulis ini? Jauh dari sempurna dan banyak dosa hitam dan kekurangan saya yang kamu tidak akan pernah tahu, sehingga saya tidak pantas membenci orang karena kesalahan mereka.
Prabowo dengan pelanggaran HAM-nya, penculikan aktifisnya, indikasinya sebagai salah satu tokoh di balik kerusuhan 98 yang menjadikan banyak orang-orang keturunan Tionghoa seperti saya menjadi korban.
Hatta Rajasa dengan dugaan korupsi dan kedekatannya dengan mafia minyak serta permainannya dengan hukum untuk melepaskan anaknya.
Aburizal Bakrie dengan pengemplangan pajak dan keengganannya bertanggung-jawab atas Lapindo dan kesusahan ribuan rakyat Indonesia.
Saya sudah memaafkan mereka semua. Mungkin saja mereka manusia yang lebih baik dari saya, hanya Tuhan yang tahu pasti tentang itu.
Sungguh, kalau kamu bisa melihat hati saya sekarang: Hati saya sejuk, tidak ada emosi dan saya sudah memaafkan mereka. Manusia mana sih yang tidak pernah berbuat salah?
Tetapi.
Ada tetapi besarnya nih.
Tetapi memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang amat sangat berbeda.
Orang sering menyamakan dua hal yang berbeda ini. Banyak orang memilih Prabowo karena mereka sudah memaafkannya.
Tapi sekali lagi, ini adalah dua hal yang amat berbeda.
Paling gampang saya kasih contoh seperti ini.
Ingat kasus-kasus ketika terungkap ada babysitter-babysitter yang bersikap kejam ke anak-anak yang mereka jaga? Ingat video-video yang memperlihatkan mereka ini memukul, menampar dan membanting anak-anak? Ini contoh salah satunya (bahkan ada adegan si anak dibekep dengan kain karena tidak berhenti menangis)
*videonya terlalu dp buat dikopas ke mari, jadi gugel sendiri, see it at your own risk*
Saya sendiri seringkali tidak sanggup menonton. Sering saya skip dan hanya baca artikelnya tanpa memutar videonya. Ga kuat. Saya membayangkan diri saya menjadi orang-tua yang melihat rekaman tersebut, betapa hancur luluh lantak hati mereka ketika mengetahui kebenaran ini. Seorang teman dekat pernah mengalaminya sendiri.
Nah, buat mereka yang cukup dewasa, mereka yang sudah matang secara rohani dan kuat secara jiwa, sangat mungkin mereka memaafkan para babysitter ini. Saya sudah pernah melihat begitu banyak orang-orang yang disakiti begitu dalam, namun sanggup dan secara tulus memaafkan mereka yang menyakitinya. Tidak lagi ada amarah, tidak ada lagi air mata jika mengenang masa lalu itu. Jika bertemu, mereka berbincang, tidak ada lagi emosi dan makian. Hal itu sudah lewat, dimaafkan dan sudah selesai. Kita kagum dengan orang-orang dewasa seperti mereka.
Tetapi, jika ada orang tua yang masih mau meninggalkan anaknya berdua dengan si baby sitter yang pernah menampar, memukul dan membanting anaknya ketika mereka tidak ada, ini adalah hal yang tidak masuk di akal. Hanya orang tua yang tidak waras yang akan melakukan hal itu.
I have nothing against Prabowo, Hatta, Ical, Suryadharma Ali, and all of them personally. Kalau mereka mau makan malam di rumah saya, saya akan masak buat mereka dan saya akan jadi tuan rumah yang baik dan saya akan mencoba berbincang2 dan berkelakar dan mendengarkan cerita-cerita mereka. Saya akan siapkan makanan penutup dan buah, dan mungkin juga siapkan box-box plastik buat mereka yang mau bawa pulang makanan. Sungguh. I am not kidding.
Tetapi menitipkan mereka dengan amanah kekuasaan tertinggi ekonomi, hukum dan militer di negeri ini, setelah semua catatan-catatan yang pernah mereka perbuat? Itu adalah hal yang amat sangat berbeda teman.
“Dia hanya manusia yang bisa salah. Kita semua juga pernah salah kan?” adalah alasan yang sangat valid dan masuk akal untuk memaafkan dia sebagai seorang manusia, tapi alasan yang sangat tidak cukup untuk memilih dia sebagai seorang presiden yang akan memiliki kekuatan penuh di negeri ini.
You forgive the babysitter who hit your baby, but you will never let her anywhere near your child again.
Source - http://blog.edwardsuhadi.com/2014/06/21/saya-memaafkan-prabowo/
Antara Prabowo dan Jokowi
Prabowo adalah sosok yang memikat ketika muncul lagi tahun 2009. Ia menunjukkan kepedulian kepada rakyat lewat konsep ekonomi kerakyatan dan juga pemberdayaaan petani serta nelayan. Dengan lantang, ia mengkritik kebocoran kekayaan negara karena pengaruh asing.
Kalah di tahun 2009, Prabowo muncul lagi tahun 2014. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang tegas dan berani. Kampanye Gerindra berbuah manis. Partai nasionalis di bawah pimpinan Prabowo menang 11% suara, naik dari 4% pada Pemilu 2009.
Akan tetapi, semakin mendekati pilpres, Prabowo dan partainya terlihat tidak tegas dalam bersikap. Dari yang tolak antek asing, menjadi “pro Amerika” dan “memberikan perlakuan khusus ke AS“. Dari yang anti-neolib di tahun 2009, kemudian berkata “saya tahu betul cara menerapkan neoliberalisme“. Di satu sisi mengkritik perusahaan asing mengeksploitasi alam Indonesia, tapi juga memuji peran Freeport. Kesan “tegas” nampak lebih banyak dikatakan oleh timsesnya dan bukan melalui tindakan Prabowo sendiri.
Partai-partai di belakang pencapresan Prabowo juga membuat karakter koalisinya menjadi tidak jelas. Misalnya partai Islam PKS dan PPP harus masuk ke satu gerbong dengan Gerindra, PAN, dan Golkar yang nasionalis. Akibatnya muncul ketidaksesuaian. Permasalahan koalisi nampak ketika orang terdekat dan juga adik Prabowo, Hashim Djojokusumo mengatakan bahwa Prabowo bisa mengendalikan PKS.
Koalisi Prabowo juga tiba-tiba memunculkan jabatan yang tidak dikenal di UUD 45: menteri utama. Jabatan ini muncul setelah Aburizal Bakrie bergabung dengan koalisi. Dikabarkan, kubu Prabowo meminta 3 triliun kepada Aburizal sebagai mahar bergabung dengan koalisinya.
Masalah ketidaktegasan sikap dan koalisi warna-warni menjadi semakin terbebani oleh kasus pelanggaran HAM. Data menunjukkan bahwa Prabowo terlibat dalam penculikan 9 aktivis pada masa reformasi 1998. Prabowo mengatakan bahwa penculikan tidak salah secara moral karena tujuannya mencegah teror. Namun, para aktivis yang diculik tidak dibawa ke pengadilan atas tindakan teror. Padahal selama dalam penyekapan mereka dipukul, dibenamkan di air, dan disetrum badannya.
Maka pertanyaannya adalah, apakah Jokowi alternatif yang layak untuk dipilih?
Jika pengalaman Prabowo ada di militer, Jokowi memiliki pengalaman 9 tahun dalam pemerintahan sipil. Ini mirip dengan presiden AS Reagan dan Clinton yang juga berkarir melalui jalur gubernur. Demikian juga Ahmadinejad yang baru menjabat walikota Tehran 2 tahun sebelum didaulat menjadi presiden Iran. Pengalaman dari bawah, tercermin pada pemahaman Jokowi tentang masalah riil di lapangan. Dalam debat, Jokowi cenderung tidak bicara konsep makro, melainkan hal-hal riil yang menggerakan ekonomi dan memberdayakan masyarakat.
Inilah kontrasnya kedua capres. Prabowo selalu berbicara konsep-konsep abstrak dan makro, sementara Jokowi menyentuh hal-hal kecil dari bawah ke atas. Saya melihat hobi blusukan Jokowi bukanlah sekadar pencitraan. Blusukan juga proses pembangunan bottom-up dari bawah ke atas. Di sini rakyat bukan sekadar obyek yang menerima hasil pembangunan. Rakyat justru dilibatkan dalam proses pembangunan sehingga hasilnya lebih sesuai kebutuhan. Ini fungsi blusukan: untuk mengetahui the ground truth.
Di sini perbedaan menjadi semakin kentara. Prabowo selalu menempatkan dirinya di depan rakyat, untuk mengeksploitasi sumber daya alam guna mensejahterakan rakyat. Jokowi berada di tengah rakyat—mendengarkan dan membangun manusia Indonesia—supaya rakyat dapat mensejahterakan diri sendiri. Saya melihat ini pada program pendidikan, kesehatan, dan juga pendekatan-pendekatan humanis yang dilakukan Jokowi selama ini. Misalnya Satpol PP yang mengedapankan persuasi dan tidak bawa pentungan.
Masalah yang akan dihadapi Jokowi adalah membuat gaya pembangunan bawah-ke-atas jadi bagian dari departemen, dinas, hingga kelurahan. Ini karena sebagai Presiden kelak, Jokowi tidak bisa lagi blusukan sendiri.
Jokowi juga ada masalah di jendral-jendral pendukungnya yang terkait kasus pelanggaran HAM. Akan tetapi, suporter bermasalah lebih aman daripada capres yang bermasalah.
Seperti halnya Prabowo, cara Jokowi mengelola koalisinya juga harus dicermati. Walaupun ada kecemasan bahwa ia akan menjadi boneka Megawati; Jokowi disebutkan memilih Jusuf Kalla sebagai cawapres melalui dialog dengan koalisinya. Ini tidak melibatkan Megawati. Setelah diputuskan memilih JK sebagai cawapres, Jokowi bertemu ke Mega untuk menyampaikan pilihannya.
Oleh karena itu, sebetulnya tidak benar jika kita tidak ada pilihan. Walaupun pilihan yang kita miliki tidak sempurna, tapi pilihan itu ada dan tidak buruk-buruk amat. Saya memilih mendukung Jokowi karena fokusnya pada pembangunan manusia. Pertimbangan saya, percuma jika Indonesia kaya karena dimanja oleh kekayaan sumber daya alam yang terbatas. Lebih penting untuk membangun manusia Indonesia supaya produktivitas dan kreativitasnya membuat kita disegani negara lain.
Dukungan saya ke Jokowi akan berhenti setelah dia terpilih. Saya akan mengkritisi kebijakannya dan menteri-menterinya. Ini juga alasan mengapa saya mendukung Jokowi, karena demokrasi butuh kemerdekaan untuk kritis. Capres yang berkata penculikan aktivis tidak salah secara moral tidak memberikan rasa tenang kalau kita mau kritis.
Source - http://hermansaksono.com/2014/06/antara-prabowo-dan-jokowi.html
STEP BY STEP MENDUKUNG JOKOWI-JK DI LUAR MEDIA SOSIAL.
Akhir-akhir ini media sosial Indonesia lagi rame banget oleh capres-capresan. Saking ramenya sampai banyak yang akhirnya jadi eneg liat update socmed temannya. Yang harus diingat, ramai di socmed dan didukung banyak selebtwit belum tentu menjamin kemenangan. Ingat ketika Faisal Basri mencalonkan diri jadi Gubernur DKI? Walau ramai banget dukungan untuk beliau di Twitter, ternyata beliau urutan empat di pilgub.
Sudah cukup rame di socmednya, sekarang saatnya dimbangi dengan kampanye di kehidupan nyata. Susahnya, kebanyakan dari kita ini tidak pernah kampanye langsung ke jalan. Setelah berdiskusi dengan beberapa analis, inilah beberapa langkah simpel yang bisa kita ambil untuk berkontribusi buat Jokowi-JK di luar socmed:
1. Yang paling simpel: nyumbang ke rekening Jokowi-JK (ini foto no akunnya biar jelas). Biar cuma 10.000,- tapi akan sangat berarti kalau digabung dengan ribuan atau bahkan jutaan pendukung yang lain. Jadi sekarang tiap muncul dorongan untuk ngetwit saya tahan, saya salurkan ke rekening biarpun sangat kecil nominalnya. Jangan takut, rekening ini akan diaudit dan kemarin ada 9 milyar yang sudah dikembalikan karena identitas pemberinya tidak jelas. Jadi pastikan nama kita tertera jelas di kolom penyumbang, kalau nggak nanti malah nyusahin.
2. “The simplest thing would be to turn your contacts to spread support for Jokowi – JK, with clear targets for their own TPS.”
Nah itu kata temen gue yang analis. Trus aplikasi di dunia nyata gimana dong?
A. Ngomong ama tetangga sebelah rumah, keluarga di daerah, ama si mbak dan mas supir di rumah, pilih siapa dan kenapa? Kalau karena hal yang ngawur seperti karena Jokowi katanya kresten dengan nama baptis Herbertus kan bisa diajak diskusi. Apalagi kalau di sini ternyata banyak pengusaha, hayuk atuh diajak diskusi para pegawainya.
Tadinya saya juga risih ngajak ngomong gini, tapi dapat masukan dari teman bahwa pilihan capres itu bukan agama. Nggak dosa kalau ngajak diskusi apalagi kalau alasan milihnya berdasarkan atas informasi yang keliru, wajib diluruskan. Nah ini saya setuju!
B. Kalau sudah pada mantap milih Jokowi-JK, minta mereka menyebarkan lagi ke kenalan atau ke keluarga mereka di daerah asal. Kasih uang pulsa ke si mbak buat ngobrol kalau perlu. Mereka senang bisa ngobrol ama keluarga, kita senang karena bisa memberikan dukungan untuk Jokowi-JK. Win-win!
C. Beri mereka cuti hari H tanggal 9 Juli atau pastikan mereka punya formulir A5 supaya bisa nyoblos dekat rumah, ini bisa ditanyakan ke kelurahan atau KPU terdekat supaya lebih jelas. Ini pengalaman mahasiswa yg pakai form A5 untuk pileg dulu, minimum 10 hari sebelum pencoblosan form harus sudah siap ya.
Jadi jangan sampai kita sibuk ngetwit dan update status Fesbuk tapi kita atau orang rumah malah nggak bisa nyoblos, rugi banget itu!
3. Ikut geratak (gerakan pakai kotak-kotak) dan tempel stiker dukungan terhadap Jokowi di rumah atau di mobil. Dengan begini otomatis lebih banyak orang yang akan ngajak kita diskusi kenapa kita pilih Jokowi-JK. Pernah selesai liputan saya ngaso dan kebetulan saya lagi pakai baju kotak-kotak, jadi didekati satpam. Dia tanya, “mbak pilih Jokowi?” Saya jawab, “iya pak.” Satpam itu masih bingung katanya. Pas dia tanya kenapa, saya jelaskan alasan-alasan yang berhubungan dengan tugas dia sebagai Satpam sampai dia mangut-mangut. Kalau ngobrol lama dengan pemilik warung pinggir jalan, sebagian besar akan cerita bahwa mereka dipalak oleh ormas anarkis lho. Nah itu juga bisa jadi bahan obrolan..
Untuk keluarga di daerah misalnya, program tol laut dari Sumatera – Papua akan membuat harga-harga jauh lebih murah, tidak ada lagi nanti perbedaan harga yang terlalu jauh di pulau Jawa dengan pulau lain di Indonesia.
Saat diskusi inilah semua link yang kita baca dan semua video Pak Anies Baswedan yang kita tonton akan berguna. Di bawah ini ada beberapa program Jokowi-JK bagi para ibu rumah tangga, profesional/ karyawan serta pelajar dan pengusaha. Untuk lengkapnya bisa dilihat di www.efekjokowi.com
4. Bila bertemu orang yang tetap malas memilih, dengan senyum manis anjurkan mereka untuk tetap mencoblos ke TPS untuk mencegah penyalahgunaan surat suara. Siapa tau pas hari H mereka ingat senyum manis kamu dan jadi tergerak buat nyoblos gambar yang kanan..
5. Datang saat penghitungan suara di TPS lalu foto hasil akhirnya. Ini akan sangat membantu klarifikasi jumlah suara apabila ada kecurangan. Kalau mau motret hasil akhir TPS lain di lingkungan sekitar kita juga boleh banget, anggap saja jalan santai sambil nyari keringet.
Pastinya, siapapun yang pernah berdebat capres online akan merasakan bahwa debat soal capres itu capek dan makan ati, apalagi di dunia nyata nggak ada tombol mute, block atau unfollow. Untuk menghindari debat kusir berkepanjangan, saya pribadi lebih memilih fokus pada orang yang memang masih ragu dalam menentukan pilihan. Kalau kerabat sudah saklek dengan pilihan yang berbeda itu wajib kita hormati. Bagaimanapun kerukunan itu no. 1, presiden no. 2.
Salam dua jari!
Sudah cukup rame di socmednya, sekarang saatnya dimbangi dengan kampanye di kehidupan nyata. Susahnya, kebanyakan dari kita ini tidak pernah kampanye langsung ke jalan. Setelah berdiskusi dengan beberapa analis, inilah beberapa langkah simpel yang bisa kita ambil untuk berkontribusi buat Jokowi-JK di luar socmed:
1. Yang paling simpel: nyumbang ke rekening Jokowi-JK (ini foto no akunnya biar jelas). Biar cuma 10.000,- tapi akan sangat berarti kalau digabung dengan ribuan atau bahkan jutaan pendukung yang lain. Jadi sekarang tiap muncul dorongan untuk ngetwit saya tahan, saya salurkan ke rekening biarpun sangat kecil nominalnya. Jangan takut, rekening ini akan diaudit dan kemarin ada 9 milyar yang sudah dikembalikan karena identitas pemberinya tidak jelas. Jadi pastikan nama kita tertera jelas di kolom penyumbang, kalau nggak nanti malah nyusahin.
2. “The simplest thing would be to turn your contacts to spread support for Jokowi – JK, with clear targets for their own TPS.”
Nah itu kata temen gue yang analis. Trus aplikasi di dunia nyata gimana dong?
A. Ngomong ama tetangga sebelah rumah, keluarga di daerah, ama si mbak dan mas supir di rumah, pilih siapa dan kenapa? Kalau karena hal yang ngawur seperti karena Jokowi katanya kresten dengan nama baptis Herbertus kan bisa diajak diskusi. Apalagi kalau di sini ternyata banyak pengusaha, hayuk atuh diajak diskusi para pegawainya.
Tadinya saya juga risih ngajak ngomong gini, tapi dapat masukan dari teman bahwa pilihan capres itu bukan agama. Nggak dosa kalau ngajak diskusi apalagi kalau alasan milihnya berdasarkan atas informasi yang keliru, wajib diluruskan. Nah ini saya setuju!
B. Kalau sudah pada mantap milih Jokowi-JK, minta mereka menyebarkan lagi ke kenalan atau ke keluarga mereka di daerah asal. Kasih uang pulsa ke si mbak buat ngobrol kalau perlu. Mereka senang bisa ngobrol ama keluarga, kita senang karena bisa memberikan dukungan untuk Jokowi-JK. Win-win!
C. Beri mereka cuti hari H tanggal 9 Juli atau pastikan mereka punya formulir A5 supaya bisa nyoblos dekat rumah, ini bisa ditanyakan ke kelurahan atau KPU terdekat supaya lebih jelas. Ini pengalaman mahasiswa yg pakai form A5 untuk pileg dulu, minimum 10 hari sebelum pencoblosan form harus sudah siap ya.
Jadi jangan sampai kita sibuk ngetwit dan update status Fesbuk tapi kita atau orang rumah malah nggak bisa nyoblos, rugi banget itu!
3. Ikut geratak (gerakan pakai kotak-kotak) dan tempel stiker dukungan terhadap Jokowi di rumah atau di mobil. Dengan begini otomatis lebih banyak orang yang akan ngajak kita diskusi kenapa kita pilih Jokowi-JK. Pernah selesai liputan saya ngaso dan kebetulan saya lagi pakai baju kotak-kotak, jadi didekati satpam. Dia tanya, “mbak pilih Jokowi?” Saya jawab, “iya pak.” Satpam itu masih bingung katanya. Pas dia tanya kenapa, saya jelaskan alasan-alasan yang berhubungan dengan tugas dia sebagai Satpam sampai dia mangut-mangut. Kalau ngobrol lama dengan pemilik warung pinggir jalan, sebagian besar akan cerita bahwa mereka dipalak oleh ormas anarkis lho. Nah itu juga bisa jadi bahan obrolan..
Untuk keluarga di daerah misalnya, program tol laut dari Sumatera – Papua akan membuat harga-harga jauh lebih murah, tidak ada lagi nanti perbedaan harga yang terlalu jauh di pulau Jawa dengan pulau lain di Indonesia.
Saat diskusi inilah semua link yang kita baca dan semua video Pak Anies Baswedan yang kita tonton akan berguna. Di bawah ini ada beberapa program Jokowi-JK bagi para ibu rumah tangga, profesional/ karyawan serta pelajar dan pengusaha. Untuk lengkapnya bisa dilihat di www.efekjokowi.com
4. Bila bertemu orang yang tetap malas memilih, dengan senyum manis anjurkan mereka untuk tetap mencoblos ke TPS untuk mencegah penyalahgunaan surat suara. Siapa tau pas hari H mereka ingat senyum manis kamu dan jadi tergerak buat nyoblos gambar yang kanan..
5. Datang saat penghitungan suara di TPS lalu foto hasil akhirnya. Ini akan sangat membantu klarifikasi jumlah suara apabila ada kecurangan. Kalau mau motret hasil akhir TPS lain di lingkungan sekitar kita juga boleh banget, anggap saja jalan santai sambil nyari keringet.
Pastinya, siapapun yang pernah berdebat capres online akan merasakan bahwa debat soal capres itu capek dan makan ati, apalagi di dunia nyata nggak ada tombol mute, block atau unfollow. Untuk menghindari debat kusir berkepanjangan, saya pribadi lebih memilih fokus pada orang yang memang masih ragu dalam menentukan pilihan. Kalau kerabat sudah saklek dengan pilihan yang berbeda itu wajib kita hormati. Bagaimanapun kerukunan itu no. 1, presiden no. 2.
Salam dua jari!
Source - http://trialogica.com/uncategorized/step-by-step-kampanye-jokowi-jk-di-luar-social-media/
Anggap Saja Prabowo Presiden
KALAU tidak salah foto ini saya ambil seminggu setelah peristiwa Trisakti 1998 di Seskoad Bandung, tepatnya tanggal berapa saya lupa. Saya termasuk wartawan foto yang beruntung saat itu. Karena masa itu, Pak Prabowo sulit sekali ditemui. Dan sayapun sebenarnya dilarang meliput acara ini, tetapi entah mengapa saya bisa juga masuk. Namun sehabis mendapatkan foto ini saya langsung digiring keluar. Tidak diperbolehkam masuk lagi sampai selesai acara. Namun foto ini (dalam tulisan ini, red) karya saya. Asli saya yang memotret. Kalo Tim Kampanye Prabowo mau memakai silahkan saja. Tak perlu dibayar. Silahkan dipakai sepuasnya.
Lalu apa hubungannya foto ini dengan pemilu?
Mari kita hubungkan. Yang jelas Prabowo nyapres sekarang. Masa 1998, dia adalah orang paling getol melawan pergerakan mahasiswa. Bukti, adanya Tim Mawar yang sudah diakui dan Prabowo menggerakkannya. Yah, Prabowo sekarang sudah menjalani masa hukumannya dan mempunyai hak politik untuk nyapres. Silahkan saja. Anggap aja Prabowo lolos jadi presiden.
Latar belakang dia yang ditutup dengan karir tidak baik di TNI. Lalu jadi presiden, ini akan menjadi duri dalam daging. Percayalah, jalannya pemerintah dia pegang dia tidak berjalan baik. Pemerintahan Prabowo pasti terseok seok.
Isu HAM jadi bom waktu. Bola panas yg bisa digulirkan kapan saja. Entah dari kubu siapa saja. Jangan jangan dari kubunya sendiri pun bisa. Saya percaya ini sangat bisa terjadi. Ingat peristiwa Gus Dur di suruh pulang dari Istana? Pasti tahu dong siapa yg paling getol nyuruh Gus Dur pergi dari istana. Orang itu sekarang ada di kubu Prabowo. Menjadi penasihatnya Prabowo. Tidak tertutup kemungkinan, hal ini akan terjadi. Prabowo bisa di-Gusdur-kan dalam masa setahun, dua tahun, tiga tahun. Tinggal maslaah waktu saja. Remote control itu di otak atik. Selesailah pemerintahannya. Lalu parlemen bersidang terus. Isu pemilu lagi. Demo yang pro dan kontra terus ada di jalanan. Bisa bisa setiap hari demonstrasi di jalanan protokol ibukota. Ingat, mei 1998 sampai masa akhir pemerintahannya Habibie, hampir tidak putus demontrasi tiap hari di jalanan. Semua stasiun tivi mengemas berita dalam segala hal. Mulai dari kritisi sampai dukung mendukung. Alhasil, ekonomi pasti tidak berjalan dengan baik. Investor takut masuk ke Indonesia. Uang kabur ke luar Indonesia. Rakyat tambah sengsara. Pengangguran dimana mana.
Saya tidak menakut nakuti. Tapi ini bisa menjadi agenda beberapa orang untuk membuat Indonesia tidak hebat hebat. Kita tidak tahu siapa. Tapi yang pasti, orang itu orang orang jahat. Bayangkan kamu berjalan memakai sepatu yang di dalamnya berpasir. Tinggal menunggu waktu lecet. Dan lepas itu sepatu. Nah, kalo ada orang baik mau bikin perubahan kenapa ngga kita dukung.
Sedikit tentang saya. Garis keluarga saya adalah orang PNI. Dulu Nenek saya adalah mantan wakil ketua PDI di kota kabupaten asal saya. Nenek saya bosan keluar masuk penjara. Dari umur 12 tahun saya sering dibawa ikut rapat rapat PDI. Karna saya memang cucu pertama nenek jadi sering menempellah. Pemandangan yang sangat biasa buat saya adalah orang berdebat gebrak meja lalu pulangnya berpelukan. Bahkan kampanye pun saya ikut membantu mengangkat-angkat barang. Tanpa dibayar yar. Ikut bantu bantulah. Lebih sedih lagi, ibu saya yang masa itu jadi saksi PDI di TPS kami berada. Jadi bahan olokan tetangga. Saya masih ingat ibu dan bapak saya berdoa sebelum berangkat TPS. Mereka berdoa berpelukan sambil menangis. Ngga bakal gue lupa peristiwa ini.
Alhasil, suara di TPS kami PDI hanya 2 suara saja. Pasti suara ibu dan bapak saya. Selainnya Golkar dan PPP. Ngga jarang di permainan teman teman kecilku, kalimat PDI sering terpleset PKI.Ironisnya, nenek saya yang wakil ketua saat itu dikerjain sama rekan separtai sendiri. Sengaja dikasih nomor urut gagal. Wakil Ketua lho. Nah, ini sedikit sejarah ke-Banteng-an gue. Kalo diceritain masih banyak dan panjang.
Lalu, bukan berarti asal capres PDI-P saya dukung. Bukan berarti asal kebijakan PDI-P saya setujui. Tidak sama sekali. Kalau tidak berpihak kepada rakyat, saya harus lawan. Siapapun itu. Termasuk PDI-P.
Karena pekerjaan saya fotografer, seringlah bertugas ke luar Jakarta. Suatu ketika ada pekerjaan di Solo, saya menginap hampir seminggu di Hotel Novotel Solo. Karena bosan sarapan di hotel terus, beberapa hari saya mencoba mencari sarapan di kaki lima. Lalu bertemulah saya di emperan kaki lima dengan penjual nasi liwet, Ibu Sum namanya. Tidak jauh dari Hotel Novotel Solo. Beberapa hari saya sarapan nasi liwet dia. Karena beberapa kali bertemu terjalinlah pembicaraan saya dengan Ibu Sum. Lalu jatuhlah ke topik walikota Solo yang lagi happening, Jokowi. saya bilang, saya dengar walikota ini sangat merakyat ya buu? … Tahu apa jawab Ibu Sum? “Itu nasi yang kamu makan berasnya dari Pak Jokowi to mas?” Dalam hati saya pikir kok bisa?
Kata Ibu Sum lagi, “lihat saja palingan bentar lagi dia singgahin sini lagi berasnya.” Tidak lama berselang, lewatlah sedan hitam Toyota, saya lupa plat nomor dan type sedannya. Turunlah seorang bapak yang kurus, mengangkat sekarung beras bersama sopirnya memberikan ke Ibu Sum. Lalu langsung pergi sambil mengangguk lempar senyum ke saya. Saya tidak mengenal siapa orang ini. Sayapun senyum saja. Ibu Sum menepuk saya, “itu to mas Pak Jokowi.” Air mata saya keluar seketika.
Kita Pemilu lagi ne cui. Anda tidak peduli. Atau golput. Atau nyoblos. Presiden anda harus baru. Saya tidak mau Indonesia gampang di otak-atik orang orang jahat. Indonesia masih mempunyai harapan. Indonesia masih mempunyai pemimpin yang pro rakyat. Hari ini dia nyapres, buat memimpin Indonesia yang pro rakyat: Jokowi.
Saya tidak mendewa-dewakan dia. Buat saya dia adalah sosok putra Indonesia yang benar. Dia tidak jago berpidato. Wajahnya kampungan. Tapi pikiran dan kerjanya Indonesia. Dan Indonesia. Kalo ada pemimpin tulus, jujur dan baik yang mau membereskan Indonesia, mengapa tidak didukung? Sesederhana itu aja. Mari kita anggap, Prabowo presiden. Anggap saja. 9 Juli coblos Jokowi. Salam Dua Jari.
* Peter Julio Tarigan, Storytelling Photographer, tinggal di Jakarta. Bisa dihubungi lewat twitter dan instagram @peter_julio
Source - http://satutimor.com/anggap-saja-prabowo-presiden.php
Jokowi, Anies Baswedan, Amien Rais, dan Koar-koar Apolitis
Berondongan kalimat di bawah ini sejatinya saya ungkapkan di status Facebook saya belasan menit yang lalu. Saya rasa perlu saya munculkan juga di situs pribadi saya untuk menegaskan sudut pandang saya tentang pro-kontra copras-capres di linimasa: bagaimana sebagian orang merasa terganggu bahwa linimasanya riuh oleh publik yang membahas siapa capres paling pas di masa depan. Ada yang marah besar. Ada yang menggerutu. Ada yang menggurui.
Berikut adalah sikap saya tentang hal tersebut, sekaligus menjelaskan pilihan politik saya—yang dituturkan dengan tutur kata terjaga serta mengedepankan akal sehat oleh Anies Baswedan di video terlampir.
…Sejujurnya saya memang menyukai Jokowi. Walau tidak sampai setengah mati. Sebab saya masih mencoba kuat menjaga keberpihakan yang rasional, dengan akal sehat. Yang jelas, saya bermula menyukai Jokowi karena ia penggemar musik rock, sebuah fenomena ganjil di birokrasi pemerintahan. Penyuka rock sering, bagi saya, terhubung dengan imej “merdeka”, berani melawan arus, tak mudah disetir. Sesuai dengan fitrah rock-n-roll: membebaskan. Lalu mulai saya amati kiprah Jokowi di pemerintahan, wah, memesona. Ia bekerja, turun ke bawah, bukan priyayi. Apalagi ia bukan bagian dari masa lalu, bukan bagian dari masalah, tiada beban sejarah.
Kilas balik sedikit, dulu saya pernah mengidolakan Amien Rais secara membabi buta. Saya terpukau dengan gombalnya tentang pluralisme, negara federasi, blah blah blah. Saya merupakan salah satu orang yang termakan oleh janji nirwana dan “ketegasan” Amien Rais menggempur Orde Baru. Sang “Lokomotif Reformasi” sukses menenggelamkan akal sehat saya. Belakangan saya tersentak sadar bahwa ia tak lebih dari tipe orang yang pintar mencuri celah serta apa yang diucapkan olehnya adalah semata retorika. Saya akhirnya berubah muak ke si penjaja mimpi. Sekaligus malu. Malu sekali sudah telak dibohongi. Hihi. *nutup muka sambil meremas testikel sendiri saking gemesnya*
Pasca kejadian Amien Rais tersebut saya sedikit menjauhkan diri dari gempita politik. Tidak terlalu peduli dengan coblos-mencoblos. Hanya sesekali protes dari luar pagar, terkadang ikut bergerak turun ke jalan atau memproduksi tulisan ketika muncul masalah yang berhubungan dengan kebinekaan. Saya defisit rasa percaya terhadap orang-orang di pemerintahan yang didominasi muka-muka lama. Pikir saya, mustahil muncul perubahan jika orang yang diharapkan membuat perubahan adalah justru bagian dari masalah, sosok dari masa lalu, punya beban sejarah.
Tetiba, Jokowi dicalonkan menjadi presiden. Optimisme saya perlahan tumbuh kembali terhadap masa depan negara ini. Ia menawarkan kebaruan. Kinerja sudah teruji. Motivasi mengubah keadaannya tinggi. Ia tinggal membentuk tim yang kuat yang terdiri dari profesional untuk mendukungnya. Memang, harus diakui, demokrasi dengan sistem perwakilan ini saya kurang setuju sebab menutup celah untuk munculnya presiden dari kalangan independen. Tapi karena sistem yang sedang dijalankan sekarang ya yang kayak gini, ya sudah, ikuti saja. Saya, sementara ini, patuh pada aturan yang berlaku. Di saat yang sama, berperanserta juga di Manifesto Rakyat Tak Berpartai. Berharap agar di masa depan sistem yang sekarang bisa disempurnakan. Berteriak dari luar pagar, dalam sistem demokrasi macam sekarang, bakal kurang efektif. Memang harus masuk ke dalam.
Keyakinan saya kian tumbuh setelah menonton video ini yang memuat penjelasan Anies Baswedan soal pandangannya terhadap Jokowi. Anies mengungkapnya dengan rasional, menggunakan akal sehat, membeberkan keberpihakannya secara runut, santun, obyektif, intelek. Bagi saya hal-hal tersebut penting. Sesuatu itu dilihat dengan menggunakan kacamata yang jernih, teguh menggunakan akal sehat, tak mudah terbutakan oleh retorika. Saya, mirip dengan kejadian Amien Rais, kembali terpukau. Bedanya kali ini saya terpukau atas dasar penjelasan-penjelasan nan rasional, hampir nihil retorika. Maaf saja, retorika tak lagi mempan membuai saya. Ini akan dinaikkan segini milyar, itu akan digenjot segitu trilyun, ini akan diperluas segitu hektar, itu akan diminimalkan hingga nol, koar-koar khas pedagang pasar malam itu bagi saya cuma pidato tanpa isi. Macan Retorika belaka.
Silakan ditonton saat luang. Redam dulu ketaksetujuan, tonton dulu sebelum memberondongkan protes. Lalu, bagi yang merasa terganggu dengan riuh copras-capres ini, well, santai saja, dudes and dudettes. Orang-orang yang sedang bersemangat membahas copras-capres ini merasa sedang berperanserta membenahi negeri. Menganggap dirinya sedang menjalankan misi penting. Walau sebagian, memang sih, sekadar eforia. Tapi gak usah dikomentari sengak bangets deh. Sama aja kayak saya, saya gak terlalu suka bola, saya menahan diri agar tidak berkomentar negatif dan memberi ruang bagi mereka penggila bola untuk membanjiri linimasa saya dengan gono-gini bola. Saya gak protes. Tidak juga sok keren menguliahi bahwa bermain bola itu permainan gak jelas (bayangkan, 1 bola kecil dikerubutin 22 orang, dan harus bunuh-bunuhan gara-gara itu? Don’t you guys have anything better to do?!). Sudah begitu, sama saja, jika anda memang golput, apolitis, atau apa saja, santai saja, gak usah kelewat mendiskreditkan soal copras-capres ini. Ini bagian dari kebinekaan, berbagi wilayah maya merdeka, mesti bisa menahan diri. Jangan serta merta menganggap bahwa diri anda lebih pintar dari orang-orang yang sedang bersemangat dengan copras-capres ini. Junjung tinggi saja kebinekaan, kawan-kawan baikku yang terhomat.
Nah, bagaimana, sudah ditonton? Sudah gak marah-marah lagi? Baik, mari bersulang!
Source - http://www.rudolfdethu.com/2014/06/21/jokowi-anies-baswedan-amien-rais-dan-koar-koar-apolitis/
Berikut adalah sikap saya tentang hal tersebut, sekaligus menjelaskan pilihan politik saya—yang dituturkan dengan tutur kata terjaga serta mengedepankan akal sehat oleh Anies Baswedan di video terlampir.
…Sejujurnya saya memang menyukai Jokowi. Walau tidak sampai setengah mati. Sebab saya masih mencoba kuat menjaga keberpihakan yang rasional, dengan akal sehat. Yang jelas, saya bermula menyukai Jokowi karena ia penggemar musik rock, sebuah fenomena ganjil di birokrasi pemerintahan. Penyuka rock sering, bagi saya, terhubung dengan imej “merdeka”, berani melawan arus, tak mudah disetir. Sesuai dengan fitrah rock-n-roll: membebaskan. Lalu mulai saya amati kiprah Jokowi di pemerintahan, wah, memesona. Ia bekerja, turun ke bawah, bukan priyayi. Apalagi ia bukan bagian dari masa lalu, bukan bagian dari masalah, tiada beban sejarah.
Kilas balik sedikit, dulu saya pernah mengidolakan Amien Rais secara membabi buta. Saya terpukau dengan gombalnya tentang pluralisme, negara federasi, blah blah blah. Saya merupakan salah satu orang yang termakan oleh janji nirwana dan “ketegasan” Amien Rais menggempur Orde Baru. Sang “Lokomotif Reformasi” sukses menenggelamkan akal sehat saya. Belakangan saya tersentak sadar bahwa ia tak lebih dari tipe orang yang pintar mencuri celah serta apa yang diucapkan olehnya adalah semata retorika. Saya akhirnya berubah muak ke si penjaja mimpi. Sekaligus malu. Malu sekali sudah telak dibohongi. Hihi. *nutup muka sambil meremas testikel sendiri saking gemesnya*
Pasca kejadian Amien Rais tersebut saya sedikit menjauhkan diri dari gempita politik. Tidak terlalu peduli dengan coblos-mencoblos. Hanya sesekali protes dari luar pagar, terkadang ikut bergerak turun ke jalan atau memproduksi tulisan ketika muncul masalah yang berhubungan dengan kebinekaan. Saya defisit rasa percaya terhadap orang-orang di pemerintahan yang didominasi muka-muka lama. Pikir saya, mustahil muncul perubahan jika orang yang diharapkan membuat perubahan adalah justru bagian dari masalah, sosok dari masa lalu, punya beban sejarah.
Tetiba, Jokowi dicalonkan menjadi presiden. Optimisme saya perlahan tumbuh kembali terhadap masa depan negara ini. Ia menawarkan kebaruan. Kinerja sudah teruji. Motivasi mengubah keadaannya tinggi. Ia tinggal membentuk tim yang kuat yang terdiri dari profesional untuk mendukungnya. Memang, harus diakui, demokrasi dengan sistem perwakilan ini saya kurang setuju sebab menutup celah untuk munculnya presiden dari kalangan independen. Tapi karena sistem yang sedang dijalankan sekarang ya yang kayak gini, ya sudah, ikuti saja. Saya, sementara ini, patuh pada aturan yang berlaku. Di saat yang sama, berperanserta juga di Manifesto Rakyat Tak Berpartai. Berharap agar di masa depan sistem yang sekarang bisa disempurnakan. Berteriak dari luar pagar, dalam sistem demokrasi macam sekarang, bakal kurang efektif. Memang harus masuk ke dalam.
Keyakinan saya kian tumbuh setelah menonton video ini yang memuat penjelasan Anies Baswedan soal pandangannya terhadap Jokowi. Anies mengungkapnya dengan rasional, menggunakan akal sehat, membeberkan keberpihakannya secara runut, santun, obyektif, intelek. Bagi saya hal-hal tersebut penting. Sesuatu itu dilihat dengan menggunakan kacamata yang jernih, teguh menggunakan akal sehat, tak mudah terbutakan oleh retorika. Saya, mirip dengan kejadian Amien Rais, kembali terpukau. Bedanya kali ini saya terpukau atas dasar penjelasan-penjelasan nan rasional, hampir nihil retorika. Maaf saja, retorika tak lagi mempan membuai saya. Ini akan dinaikkan segini milyar, itu akan digenjot segitu trilyun, ini akan diperluas segitu hektar, itu akan diminimalkan hingga nol, koar-koar khas pedagang pasar malam itu bagi saya cuma pidato tanpa isi. Macan Retorika belaka.
Silakan ditonton saat luang. Redam dulu ketaksetujuan, tonton dulu sebelum memberondongkan protes. Lalu, bagi yang merasa terganggu dengan riuh copras-capres ini, well, santai saja, dudes and dudettes. Orang-orang yang sedang bersemangat membahas copras-capres ini merasa sedang berperanserta membenahi negeri. Menganggap dirinya sedang menjalankan misi penting. Walau sebagian, memang sih, sekadar eforia. Tapi gak usah dikomentari sengak bangets deh. Sama aja kayak saya, saya gak terlalu suka bola, saya menahan diri agar tidak berkomentar negatif dan memberi ruang bagi mereka penggila bola untuk membanjiri linimasa saya dengan gono-gini bola. Saya gak protes. Tidak juga sok keren menguliahi bahwa bermain bola itu permainan gak jelas (bayangkan, 1 bola kecil dikerubutin 22 orang, dan harus bunuh-bunuhan gara-gara itu? Don’t you guys have anything better to do?!). Sudah begitu, sama saja, jika anda memang golput, apolitis, atau apa saja, santai saja, gak usah kelewat mendiskreditkan soal copras-capres ini. Ini bagian dari kebinekaan, berbagi wilayah maya merdeka, mesti bisa menahan diri. Jangan serta merta menganggap bahwa diri anda lebih pintar dari orang-orang yang sedang bersemangat dengan copras-capres ini. Junjung tinggi saja kebinekaan, kawan-kawan baikku yang terhomat.
Nah, bagaimana, sudah ditonton? Sudah gak marah-marah lagi? Baik, mari bersulang!
Source - http://www.rudolfdethu.com/2014/06/21/jokowi-anies-baswedan-amien-rais-dan-koar-koar-apolitis/
Kalo gue jadi Jokowi…
“Jokowi adalah oportunis yang ambisius, sekedar memanfaatkan popularitasnya untuk mengejar jabatan setinggi-tingginya, padahal masa pembuktian hasil kerjanya masih terlalu pendek.”
Kalo diringkas dalam 1 kalimat, kurang lebih begitulah isi serangan yang diarahkan ke Jokowi sejak dia dideklarasikan sebagai capres dari PDI-P. Itu juga reaksi pertama yang terlintas di benak gue saat denger berita pencapresan Jokowi, “Kenapa? Apakah sekedar karena disuruh Megawati? Kok mau aja sih? Atau jangan-jangan emang sejak pindah dari Solo udah berencana untuk lompat ke kursi presiden?”
Awalnya, tiap kali ditanya wartawan, respon Jokowi cuma, “Yang saya lakukan tidak dilarang oleh undang-undang.” Yaelah Pak, ujug-ujug nanya nomer beha mbak-mbak yang lewat depan halte juga nggak dilarang undang-undang, tapi bukan berarti pantes.
Baru belakangan Jokowi, didukung juga oleh Ahok, menjelaskan bahwa masalah-masalah utama di Jakarta seperti banjir dan macet hanya bisa diatasi dengan dukungan pemerintah pusat. Kalo Jokowi jadi presiden, dia punya wewenang lebih besar untuk ngebenahin Jakarta.
Maksudnya, apakah pemerintah pusat selama ini kurang mendukung kebijakan Pemprov DKI? Bisa dibilang gitu. Lihat aja contoh-contohnya:
- Pemprov DKI lagi siap-siap bikin seperangkat kebijakan untuk mengurangi kemacetan dengan cara mendorong orang untuk pindah ke kendaraan umum, eh pemerintah pusat malah bikin kebijakan Low Cost Green Car. Kalo harga mobil makin murah, makin banyak orang yang beli, ya jalanan makin macet. Presidennya bukannya bikin kebijakan yang bantuin Jokowi, malah ngritik.
- Jakarta sering dapet banjir kiriman dari Depok. Salah satu penyebabnya adalah karena Pemkot Depok enteng banget ngasih izin pembangunan rumah di pinggir kali. Buat penghuni rumahnya sih asik, buka jendela bisa lihat kali, tapi akibatnya daya tampung kali berkurang dan bikin banjir. Pemprov DKI tahu diri nggak bisa ngatur kebijakan perizinan bikin rumah di Depok, maka solusinya Pemprov DKI mengajukan usul mau beli lahan tanah pinggir kali di Depok. Eh walikota Depoknya malah jawab dengan enteng, “Urus Jakarta saja, jangan urus daerah lain.” Denger jawaban kayak gini, Ahok langsung panas dan nyahut, “Kalau lu ngebuang air ke langit, gue enggak ada urusan.”
- Pemprov DKI berusaha bikin jajaran lurah lebih profesional lewat lelang jabatan dan metode seleksi yang lebih terukur, eh Lurah Susan di Lenteng Agung didemo masyrakat hanya karena agamanya beda dengan mayoritas. Giliran Jokowi dan Ahok tetap mendukung Lurah Susan, Mendagri Gamawan Fauzi malah berpihak pada protes masyarakat yang sebenernya nggak berdasar.
- Pemprov DKI mau mindahin Stadion Lebak Bulus karena mau dijadiin stasiun MRT, izin dari Menpora nggak keluar-keluar. Karena gemes, Ahok nyeletuk, “…karena nggak ada duitnya kali.” Tau sendiri kan siapa Menporanya?
- Salah satu cara Pemprov DKI untuk mengurangi kemacetan adalah berusaha bikin Transjakarta bisa jalan lebih cepet. Kalo Transjakarta bisa lebih cepet, waktu tunggu penumpang lebih pendek, penumpang yang terangkut lebih banyak, sehingga akhirnya bisa memikat lebih banyak penumpang. Pemprov DKI lantas meminta agar para pelanggar jalur busway didenda maksimal. Praktiknya, hakim ternyata banyak yang nggak menetapkan denda maksimal dengan berbagai alasan. Akhirnya wacana sterilisasi jalur busway udah nggak kedengeran lagi sekarang. Siapa yang bisa ngatur hakim? Gubernur nggak bisa, tapi presiden bisa.
Kompas baru-baru ini memuat 5 program Pemprov DKI yang tersandera oleh kebijakan pusat:
![]() |
Klik fotonya kalo mau baca lebih jelas |
Dalam salah satu video wawancara (yang barusan gue cari-cari linknya tapi belum ketemu) Ahok memaparkan beberapa contoh lain yang menggambarkan betapa Pemprov DKI punya banyak keterbatasan dalam menegakkan kebijakannya sendiri. Dia mencontohkan, petugas dishub pemprov berkepentingan mengatur lalu lintas, tapi nggak berwenang menilang. Jadi kalo pengguna jalannya kurang ajar, mereka nggak bisa apa-apa.
Di acara Mata Najwa, Najwa mengomentari kendala-kendala yang disampaikan Jokowi dan Ahok dengan, “Tapi itu kan hal-hal yang seharusnya Anda sadari sebelum maju ke pemilihan Gubernur DKI?” (lihat mulai menit ke 24)
Ahok menjawab, “Memang, bukannya kami bilang tidak akan bisa tanpa dukungan pusat… bisa, tapi lebih lama.” Intinya, mereka mau bilang, kalau dengan salah satu maju jadi presiden urusannya bisa lebih cepet beres, kenapa enggak? Toh ujung-ujungnya yang menikmati rakyat DKI juga, dengan bonus rakyat Indonesia di daerah lain.
Akhirnya, gue sampe pada satu kesimpulan, situasi yang dihadapi Jokowi saat maju ke pilpres ini bisa dianalogikan sebagai berikut:
Bayangin lu adalah kepala sebuah bagian di rumah sakit, katakanlah Kepala Unit Perawatan Balita. Lu bekerja sepenuh hati untuk memastikan para pasien mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik. Kepala rumah sakitnya memang rada lamban, tapi masih OK-lah. Tiap kali lu mengajukan pengadaan peralatan baru, barangnya suka telat datengnya tapi lumayan daripada nggak dateng sama sekali.
Setelah satu setengah tahun lu kerja di rumah sakit tersebut, lu melihat banyak unit lain yang diurus serampangan. Banyak pasien yang curhat ke elu, tapi elu nggak bisa berbuat apa-apa karena wewenang lu cuma terbatas di Unit Perawatan Balita doang.
Suatu hari lu ditawarin untuk jadi salah satu kandidat pengganti Kepala Rumah Sakit. Lu tadinya nggak mau, karena mau konsentrasi ngurus Unit Perawatan Balita yang jadi tanggung jawab lu. Tapi kemudian lu ngelihat bahwa kandidat lainnya punya track record yang meragukan. Yang satu pasiennya banyak yang hilang misterius. Yang satunya lagi lepas tanggung jawab pas bangsal pasien kebanjiran lumpur.
Kalo elu menolak untuk dicalonkan jadi Kepala Rumah Sakit, maka kepemimpinan akan jatuh ke salah satu dari 2 kandidat nggak jelas itu. Kalau mereka yang jadi pimpinan, kemungkinan besar seluruh penghuni rumah sakit, termasuk elu dan pasien-pasien di Unit Perawatan Balita akan lebih menderita. Kalo elu menerima dicalonkan, lu akan menghadapi risiko dicap kutu loncat, oportunis, dan ambisius, tapi punya peluang memperbaiki hidup orang banyak. Sebagai orang yang mengenal diri sendiri, lu yakin bahwa motivasi lu bukanlah kemaruk jabatan, tapi ingin membawa perubahan yang lebih baik. Masalahnya orang lain belum tentu bisa melihat ketulusan niat lu.
Kalo elu dalam posisi seperti itu, pilihan apa yang akan lu ambil?
=$$$=
Setiap bulan Maret, saat ngisi Surat Pajak Tahunan, gue selalu ngomel-ngomel ngelihat nominal pajak yang gue bayar ke pemerintah ternyata lumayan gede (untuk ukuran gue, tentunya) padahal duit itu sebagian dipake buat foya-foya sama anggota dewan dan pengurus partai.
Sebagai rakyat kroco gue cuma bisa ngomel doang.
Tapi seorang Jokowi berhadapan dengan kesempatan langka untuk ngebenahin negeri ini. Meneruskan upaya-upaya perbaikan yang selama ini udah dia lakukan ke cakupan yang lebih luas lagi. Risikonya adalah diserang dan difitnah, tapi dia tau yang harus menanggungkannya hanya dirinya sendiri – sementara manfaatnya nanti akan dirasakan oleh rakyat banyak. Maka dia memutuskan untuk maju dan mengambil kesempatan itu,
Kalo gue jadi Jokowi, gue akan mengambil keputusan yang sama.
Source - http://mbot.wordpress.com/2014/06/08/kalo-gue-jadi-jokowi/
Langganan:
Postingan (Atom)