Senin, 07 Juli 2014

Surat Suara Tanpa Angka

Surat Suara Tanpa Angka


Setelah empat tahun absen, saya kembali ke rumah tua ini, blog yang tadinya sudah ingin saya pensiunkan demi pindah ke alamat dan format baru. Berhubung rencana itu masih tertunda, sementara suara hati saya tidak bisa ditunda, maka kembalilah saya kemari. Sebagai seseorang yang selama ini apatis dan nyaman mengusung golput, tidak pernah saya duga urgensi menulis ini bakal didorong oleh peristiwa politik. 

Peristiwa politik yang satu ini memang tidak biasa. Sepanjang ingatan, belum pernah rasanya masyarakat begitu menggebu menggunakan hak pilihnya. Saya salah satu orang yang tertular semangat itu. Tahun ini, untuk kali pertama saya berpartisipasi dalam pilpres.

Memori kuat pertama saya tentang pemilu tertoreh tahun 1997, setahun sebelum reformasi, waktu saya akhirnya punya KTP dan cukup umur untuk mencoblos. Partainya saat itu masih merah-kuning-hijau dan kita sama-sama tahu siapa yang akan jadi pemenang. Sepuluh meter sebelum TPS di halaman kantor kelurahan, saya balik badan dan berlari pulang. Tidak sanggup rasanya ikut andil dalam peristiwa yang bagi saya menyalahi nurani. Protokol politik dikemas dalam judul pesta demokrasi. Sebagaimana sebuah protokol, kita sudah tahu awal dan akhirnya. Saya berontak dan tidak mau ambil bagian. Belakangan baru saya tahu, apa yang saya lakukan itu punya nama. Punya warna. Golongan putih. 

Esok lusa, saya memilih untuk meninggalkan golongan putih. Dan, jika warna terkait dengan partai politik, kali ini saya pun tidak mengusung warna tertentu. Cuma mengusung harapan saya. Harapan itu warna-warni untuk Indonesia yang bagai pelangi. 

Alasan pertama yang menggiring saya mempertaruhkan suara adalah kerinduan memiliki pemimpin yang merupakan seorang pemelihara. Bukan sekadar penguasa. Kriteria tersebut lebih mudah saya temukan pada sosok orang yang berorientasi kerja dan implementasi, yang sudah terukur hasil kerjanya dan berprestasi, yang isi dan bukan kemasan. Dalam pemilu kali ini, saya melihat sosok itu ada. 

Alasan kedua adalah preferensi kuat saya terhadap keberagaman. Bagi saya, keberagaman adalah esensi kehidupan. Dari kacamata keberagaman, Indonesia memiliki harta karun yang luar biasa. Bangsa ini lahir dari keberagaman, bukan keseragaman. Dari Sabang sampai Merauke, teruntai budaya, bahasa, kepercayaan, wujud manusia, yang berbeda-beda. Balik dari Merauke sampai Sabang, teruntai flora, fauna, ekosistem, kekayaan alam yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin kita ingkari itu semua hanya demi fantasi keseragaman segelintir pihak tertentu? Bagaimana mungkin kita mau didorong untuk membenci perbedaan yang padahal merupakan hakikat dan jatidiri kita? Ketika mereka yang kerap menyatakan perang terhadap keberagaman mendarat di sebuah kubu, saya memutuskan untuk berada di seberangnya. 

Alasan ketiga merupakan faktor yang tidak saya perhitungkan sama sekali. Dari sekadar penonton pasif, saya mulai resah ketika dari hari ke hari cara-cara yang dipakai untuk bertanding dalam pemilu kali ini begitu keji. Gelombang fitnah yang terus membubung hingga ke titik ekstrem membuat rasa keadilan saya terusik. Kemenangan semegah ini seharusnya tidak diperoleh dengan praktik serendah ini, pikir saya. Sebagai Sarjana Ilmu Politik, saya tidak buta sama sekali. “Politik itu kotor” adalah mantra klasik yang kita dengar setiap saat, terjadi di sekitar kita setiap hari dalam berbagai bentuk. Namun, tidak berarti kita harus sampai kehabisan ruang untuk hati nurani. Dalam lumpur sepekat apa pun, jangan biarkan cahaya dalam hati kita habis tenggelam.

Didorong oleh ketiga alasan itu, saya lalu memutuskan untuk ikut turun. Dari cuma penonton yang bungkam, saya mulai bersuara. Menyatakan pilihan saya secara terbuka. Menawarkan bantuan sesuai kapasitas saya. Jujur, tidak banyak yang saya bisa lakukan. Dibandingkan dengan relawan-relawan di seluruh pelosok Indonesia yang bekerja keras berbulan-bulan, kontribusi saya hanyalah debu. Justru kebersamaan singkat dengan merekalah yang menjadi imbalan luar biasa bagi saya. Plus, satu kemasan teh kotak dan dua botol air mineral 330 ml. 

Kita semua berada pada detik-detik penentuan. Kulminasi perjuangan kita ada di bilik suara. Di titik ini, saya ingin mulai melepas. Terbungkus doa yang saya ucapkan hingga menitik air mata, saya ikhlaskan apa pun hasilnya. 

Siapa pun pemimpin bangsa ini nanti, pilihan saya atau bukan, saya tetap manusia Indonesia. Tidak ada yang bisa menggantikan dan merebut rasa cinta itu, bahkan jika hati saya patah karena pilihan saya bukan jadi juara. Di atas itu semua, Indonesia adalah tanah, air, udara, dan darah saya. Ibu kita semua. 

Saya berdoa agar kedamaian terus bersama kita. Saya berdoa agar Ibu Pertiwi ini kian disayangi dan dipelihara oleh anak-anaknya. 

Saya berdoa, ke arah mana pun Indonesia melangkah dan siapa pun pemimpinnya, cinta yang sama tetap bisa menyatukan kita. Dalam masa paling sulit sekalipun, semoga kita mampu melihat satu sama lain, sesama anak-anak Ibu Pertiwi, dan masih menemukan sosok saudara. Meski kamu Satu dan saya Dua. 

Siapa pun Anda, calon pemimpin bangsa, yang belum diketahui siapa orangnya saat tulisan ini diturunkan, ingatlah terus bahwa cinta Indonesia melampaui semua angka.

Cinta ini tidak bisa dibeli. Tidak bisa direbut. Ia bisa patah, tapi juga bisa sembuh kembali. Inilah cinta yang tidak bisa mati. Genggam terus saat Anda memimpin nanti. 



Saudaramu se-Ibu,


Dewi Lestari. 

Source - http://dee-idea.blogspot.com/2014/07/surat-suara-tanpa-angka.html?m=1

Rabu, 25 Juni 2014

Pilpres 2014: Pilihan Saya..

Semoga Anda dalam keadaan sehat wal afiat saat membaca tulisan ini. Saya menulis terkait dengan pilihan saya dalam pemilihan presiden yang akan datang.

Kemarin saya menerima telepon dari Pak Jokowi, mengundang saya untuk membantu dalam perjalanan ke depan. Begitu juga dengan Pak Jusuf Kalla, beliau juga menelpon dan menyampaikan undangan yang sama. Sebagai warga negara dan sebagai kawan baik mereka, saya harus menjawab dan menentukan sikap. Di sini kemudian saya melihat kembali pikiran dan kegiaatan yang selama ini kita sama-sama jalankan.

Sebagaimana yang sering saya sampaikan dalam dialog dan diskusi di Turun Tangan. Kita harus mendorong orang baik agar bersedia memasuki arena politik dan mendorong agar kita semua bersedia membantu agar mereka bisa mendapatkan otoritas untuk mengelola negara ini.

Saya sadar sekali bahwa kita bukan sedang mencari manusia sempurna. Jadi, jangan berharap akan hadir figur sempurna. Dalam pemilihan presiden ini kita akan menentukan pada siapa otoritas negeri ini akan dititipkan. Di Indonesia ada banyak pemimpin. Kitapun bisa memilih pemimpin kapan saja tapi pergantian pemegang otoritas negeri ini hanya berlangsung sekali dalam 5 tahun. Pertanyaan yang tiap kita harus jawab adalah pada pemimpin yang mana otoritas itu akan diberikan? Otoritas untuk mengatasnamakan kita selama 5 tahun ke depan, untuk mengelola uang pajak kita, untuk menentukan arah perjalanan pemerintahan dan sebagainya.

Saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada dua pilihan pasangan calon pemegang otoritas: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Itu adalah fakta. Pada pasangan mana otoritas akan kita titipkan?

Seperti saya tulis dalam email sebelumnya, perjuangan kita di Gerakan Turun Tangan bukan membawa cita-cita untuk meraih otoritas. Kita membawa misi untuk dijalankan karena itu kita memerlukan otoritas. Kita membawa misi agar kebijakan yang dihasilkan oleh proses politik ini adalah kebijakan yang berfokus pada kualitas manusia berdaulat yang sehat, terdidik dan makmur dalam sebuah masyarakat yang berkepastian hukum. Indonesia yang berkeadilan sosial. Itu misi kita.

Perjuangan kita selama ini sudah berhasil membangun kesadaran bahwa orang baik harus turun tangan membantu orang-orang terpercaya agar bisa terpilih menjadi wakil rakyat dan menjadi pemegang otoritas kepemimpinan di pemerintahan. Jika proses politik yang terjadi tidak memungkinkan mendapatkan otoritas itu, sebagaimana yang dialami sekarang, maka kita akan terus bawa misi itu dalam berbagai kegiatan kita. Dan tentu saja misi inipun bisa dititipkan pada orang lain yang kita percayai serta bersedia untuk menjalankannya.

Masalah yang dihadapi Indonesia hari ini masih banyak yang tergolong masalah primer dan mendasar: pangan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan sebagainya. Hambatan terbesar untuk memajukan juga masih sama, diantaranya maraknya korupsi dan belum terciptanya tata-kelola pemerintahan yang baik. Siapapun yang diberi otoritas untuk mengelola negara ini harus membereskan masalah yang elementer ini.

Setelah 15 tahun lebih reformasi berjalan, saya merasa Indonesia kita memerlukan penyegaran. Perlu cara pandang baru, semangat baru, pendekatan baru, cara kerja baru, dan bahkan orang baru. Baru memang bukan soal usia, walau memang usia muda sering diasosiasikan dengan baru. Kepemimpinan di pemerintahan perlu kebaruan. Saya melihat unsur kebaruan ini diperlukan untuk membuat terobosan dan membongkar berbagai kemacetan dalam pengelolaan negara ini. 

Sebagaimana yang saya sering sampaikan, jangan diam dan mendiamkan maka sayapun harus konsisten untuk memilih dan membantu sesuai dengan kriteria saya. 

Di sinilah kemudian saya merasa pasangan Jokowi-JK lebih sesuai. Mereka berdua tidak sepenuhnya kombinasi kebaruan karena Jusuf Kalla adalah tokoh senior, pernah jadi Wakil Presiden. Tapi potensi memunculkan kebaruan dan terobosan dari pasangan Jokowi-JK ini terlihat lebih besar. Ada lebih besar harapan bahwa pasangan ini bisa menjalankan misi yang disebut diatas secara lebih optimal. Dengan latar belakang misi yang selama ini kita jalankan maka saya menyatakan bersedia untuk membantu pasangan Jokowi-JK.

Melalui email ini, keputusan tersebut saya sampaikan secara langsung pada semua teman-teman yang selama ini berjalan bersama dalam Gerakan Turun Tangan. Ini dilakukan sebelum saya menjawab secara terbuka pada publik/umum. Email inipun dikirim kepada Anda sebelum ada penjelasan terbuka. Walau di media sudah beredar berbagai spekulasi, tapi saya ingin memastikan bahwa Anda mendengar kabar ini bukan dari media massa tapi langsung dari saya sendiri. 

Semua ini berjalan amat cepat tapi itulah hidup, kita memang selalu siap dan berani ambil pilihan lalu hadapi, sebagaimana slogan kita semua sebagai pejuang.

Pilihan ini adalah pilihan saya pribadi sebagai warga negara yang menyatakan turun tangan, dan menyatakan siap membantu. Anjuran saya pada anda adalah jangan diam dan mendiamkan. Seperti yang saya sampaikan dalam email kemarin: lihat masalah utama Indonesia, lihat track-recordnya, kaji rencana kerjanya, kuasai informasi tentang mereka lalu tentukan pilihan. Jangan cari manusia sempurna. Sebagaimana yang selama ini sering dikatakan, bantu orang baik yaitu orang bersih/tak bermasalah dan kompeten. Lalu ajak lingkungan anda untuk berdiskusi dan menentukan sikap.

Perjalanan kita masih panjang. Ikhtiar kita untuk mendorong orang baik terus kita jalankan. Gerakan Turun Tangan saat ini belum menyusun perangkat organisasi untuk mengambil keputusan dan sikap. Walau Turun Tangan sebagai sebuah institusi tidak terlibat dalam kegiatan Pilpres bulan Juli 2014 ini, tetapi semua simpatisan dan relawan dianjurkan untuk terus melakukan pendidikan politik dan kesadaran perlunya terlibat . Setiap kita memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihan diantara dua pasangan yang berhak menjadi calon dalam Pemilihan Presiden. Saya telah menentukan pilihan, saya harap anda bisa segera menentukan pilihan sesuai dengan prioritas anda.

Saya perlu garis bawahi, apapun pilihan kita itu adalah karena kecintaan kita pada Indonesia dan komitmen kita untuk memanjukan bangsa tercinta ini. Dengan begitu pilihan ini tidak boleh menyebabkan permusuhan. Lawan beda dengan musuh. Lawan debat adalah teman berpikir, lawan badminton adalah teman berolah raga. Beda dengan musuh yang akan saling menghabisi, lawan itu akan saling menguatkan.

Berbeda pilihan itu biasa, tidak usah risau apalagi bermusuhan, rilex saja. Jangan kita terlibat untuk saling menghabisi. Mari kita semua turun tangan untuk saling menguatkan, untuk saling mencintai Indonesia dan untuk membuat kita semua bangga bahwa kita jaga kehormatan dalam menjalani proses politik ini. 

Terima kasih dan salam hangat dari Jakarta.
Anies Baswedan

Source - http://aniesbaswedan.com/tulisan/pilihan-anies-baswedan-menjelang-pilpres-2014

Jangan Memilih Jokowi Karena Kill the DJ



Jangan Memilih Jokowi Karena Kill the DJ
Akhir-akhir ini banyak pertanyaan dari beberapa penggemar melalui twitter dan facebook, “kenapa mendukung Jokowi?”. Banyak penggemar berharap bahwa sebagai musisi atau seniman seharusnya aku netral. Tentu saja sebagian besar penggemar itu juga “sedulur” dan “bregada” dari Jogja Hip Hop Foundation yang selalu menemani kami dari panggung ke panggung. Karena tidak mungkin aku menjawab pertanyaan, melalui tulisan ini, ijinkan aku menyapa kalian semua dan menjelaskan alasan-alasan dengan bahasa yang paling sederhana agar kalian bisa memahami.

Bagi kalian yang berumur 30 tahun ke bawah, tentu tidak pernah benar-benar mengerti arti dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena tidak merasakan susahnya jaman orde baru. Di jaman orde baru, kebebasan berekspresi dan berpendapat dikekang, jika kalian mengkritik negara atau pejabat, maka kalian akan dianggap subversif (pemberontak). Bahkan, jika kamu menjadi bagian dari aktivis yang memperjuangkan demokrasi, kamu bisa saja diculik atau mati dihilangkan. Sebuah unit yang dikenal dengan Tim Mawar dibawah asuhan Prabowo Subianto, yang saat ini maju menjadi calon presiden dibentuk untuk meredam para aktivis yang memperjuangkan demokrasi. Banyak teori konspirasi di belakang kasus ini, termasuk para atasan Prabowo yang dulu ikut menandatangani surat pemecatan dirinya. Aku memilih tidak mau berasumsi dan berspekulasi, tapi punya tuntutan yang jelas agar segala misteri berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia itu bagaimanapun harus diungkap untuk rasa keadilan, agar selamanya bangsa kita tidak dibangun dengan kebohongan demi kebohongan. Karena yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan (Gus Dur).

Sekarang, coba bandingkan dengan kenyamanan kita saat ini ketika menggunakan twitter atau facebook untuk sekedar berbagi, curhat, atau bahkan mengkritik negara, termasuk mention presiden kita @SBYudhoyono. Tapi yang harus kalian ingat, bahwa kebebasan kita hari ini diperjuangkan dengan darah dan nyawa oleh para aktivis mahasiswa. Sayangnya, setelah 16 tahun agenda reformasi, demokrasi kita tersandra oleh partai-partai politik busuk yang hanya peduli dengan kepentingan golongan mereka sendiri. Partai-partai politik yang sebagian besar lahir paska ’98 itu sudah tidak lagi peduli dengan cita-cita reformasi, juga sudah lupa dengan darah dan nyawa yang telah memperjuangkan demokrasi sehingga saat ini mereka bisa berpolitik secara bebas. Bahkan diktator Soeharto dihidupkan dari kubur dengan kalimat “isih penak jamanku to?” Omong kosong! Kebebasan itu seperti udara, kita baru terasa arti pentingnya ketika hal itu hilang dari kehidupan kita.

Dalam perjalanan Indonesia menjadi negara demokrasi sesungguhnya, di pemilihan presiden 2014 ini secara natural seleksi alam terjadi, mereka yang hanya mengamankan kepentingan kekuasaan berkumpul dalam satu koalisi bagi-bagi kursi yang mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Rekam jejak para elite partai-partai pendukungnya jauh dari kata bersih, tentu kalian masih ingat korupsi sapi PKS, lumpur Lapindo Bakrie Ketum Golkar itu, korupsi dana haji Surya Darma Ali, dan masih banyak lagi. Bahkan mereka menerima berbagai macam ormas keagamaan yang sering mencederai prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam barisan koalisinya.

Sebagai pendukung Jokowi, aku tidak gelap mata, aku tahu eltie-elite partai di belakang Jokowi juga tidak sepenuhnya bersih. Bedanya hanya karena mereka menurut dengan cara bersih yang digunakan oleh Jokowi dan setuju untuk tidak bagi-bagi kekuasaan. Jokowi juga tidak mau disetir oleh parpol pendukungnya termasuk PDI-P yang mengusungnya menjadi calon presiden, itu kenapa Megawati menyerahkan semua keputusan koalisi dan cawapresnya kepada Jokowi.

Tidak ada yang sempurna dari semua kandidat calon presiden, Jokowi bukan nabi yang pantas didewakan, dia menempuh perjalanan sejengkal demi sejengkal untuk mengembalikan kedaulatan dan menyatukan sebuah tekad yang sama untuk Indonesia yang lebih baik. Jokowi adalah kehendak jaman, dan seperti biasa, pasti banyak kepentingan dan kuasa yang ingin mencegahnya dengan cara apa pun.

Seperti kita ketahui, di Indonesia politik uang sudah sedemikian dahsyat merusak demokrasi dan mentalitas warganya. Para politikus menghalalkan segala cara untuk berkuasa. Biaya politi yang sangat mahal itu tidak akan sebanding dengan gajinya ketika menjabat, akibatnya korupsi membabi-buta mereka lakukan ketika menjabat agar bisa balik modal. Belum lagi cukong-cukong yang memodali kampanye minta dimuluskan semua proyek-proyeknya. Selamanya ekonomi kerakyatan, kedaulatan pangan dan energi, tidak akan tercipta dari kondisi semacam itu.

Bagiku Jokowi adalah pencerahan dan antitesis karena tidak mau terjebak ke dalam lingkarang setan itu. Sebagaimana praktek demokrasi di negara maju, Jokowi juga mengajak rakyat pendukungnya untuk menyumbang dana kampanye dan penggunaannya dilaporkan secara terbuka. Kenapa demikian? Dia ingin mengajak masyarakat pendukungnya untuk terlibat dalam “kegembiraan politik” yang dia kampanyekan dengan patungan biaya kampanye, sehingga ketika menjabat sebagai presiden, dia mengembalikan amanahnya untuk melayani rakyat. Karena inti dari demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Apapun yang akan terjadi setelah pilpres, siapa pun yang menang, pasti banyak warga negara Indonesia yang akan bangga telah ikut memberikan sumbangsih bagi masa depan Indonesia yang lebih baik dengan berdiri di belakang Jokowi.

Aku berharap apapun pilihan kalian lakukanlah dengan cerdas dan mandiri, bukan karena citra, agama, partai, uang, dll. Citra? Selama 10 tahun kita pernah dipimpin oleh presiden yang dipilih karena citra ganteng, pandai bernyanyi, santun berpidato, dan kalian semua tahu apa hasilnya. Agama? Tidak ada hubungannya antara agama dan politik, karena agama mengajarkan kebaikkan dan cinta kasih, sementara politik mengajarkan sikap oportunis yang akan mengesampingkan nila-nilai agama. Partai? Semua partai busuk dan aku bukan simpatisan PDI-P, aku juga menghadang Prabowo ketika maju menjadi cawapres Megawati di pilpres 2009, bedanya saat itu media sosial belum seheboh sekarang ini. Uang? Politik uang adalah sumber dari segala sumber kejahatan penyelenggaraan negara sebagaimana sudah aku jelaskan di atas.

Jangan memilih Jokowi karena aku mendukungnya, tapi memilihlah karena kalian cerdas dan mau belajar sejarah bangsa ini. Jangan memilih Jokowi karena aku menjadi relawannya, tapi memilihlah karena kalian punya prinsip yang kuat dan tanpa rasa takut membela kebenaran! Jangan memilih Jokowi jika kalian ingin menjadi bagian dari fitnah, sebab fitnah adalah sikap yang tidak kstaria dan pecundang. Kecuali kalian rela menjadi bagian dari nilai-nilai yang busuk dan kotor itu. Sahabatku Anies Baswedan pasti setuju, karena jika kalian seorang muslim yang taat, kalian akan meneteskan air mata ketika diimami sholat oleh Jokowi dengan bacaan ayat-ayat Al Qur’an secara tartil. Bagaimana orang sebaik itu difitnah sedemikian rupa agar ketulusannya dibungkam.

Bagiku, jika dulu golput adalah perlawanan, sekarang golput adalah ketidak-pedulian, karena membiarkan kejahatan kembali berkuasa. Aku yang dulu golput permanen, kali ini dipaksa keadaan dan nurani untuk harus berpihak karena status negara dalam keadaan genting dan bahaya. Aku tidak mau demokrasi kembali tersandra oleh maling-maling dan aku dipaksa keadaan untuk turun tangan ikut memberikan andil menyelamatkannya.

Terakhir, dalam sebuah negara demokrasi yang kita sepakati (kecuali tidak sepakat), dukung-mendukung adalah hak setiap warga negara, sebagaimana golput juga hak yang dilindungi undang-undang. Tidak ada teori bahwa seorang seniman atau musisi harus netral atau golput, apalagi menganggap seniman netral sama dengan suci, itu omong kosong yang menggelikkan karena tidak ada orang suci di muka bumi ini. Pada pemilihan presiden di Amerika, Obama didukung oleh Jay-Z, Will-I-Am, Pearl Jam, Katty Perry, Tom Hanks, Steven Spielberg, dan masih banyak lagi. Mereka bukan hanya bernyanyi di panggung-panggung kampanye, tapi juga menyumbang dana dengan angka-angka yang fantastis, bukan seperti artis-artis Indonesia yang justru minta bayaran sangat tinggi ketika kampanye. Ironis ketika para musisi sering menuntut negara untuk melindungi industrinya tapi di saat bersamaan ikut merusak demokrasi itu sendiri.

Aku menjadi relawan Jokowi dan menyumbang lagu “Bersatu Padu Coblos No.2” secara sukarela tanpa bayaran. Sebab pada titik akhir, aku hanya ingin dikenang karena berkontribusi, bukan hanya pandai mengkritik. Pesanku, jadilah pemilih yang cerdas, mandiri, dan bermartabat.

Salam Revolusi Mental!

Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ

Source - http://killtheblog.com/2014/06/16/jangan-memilih-jokowi-karena-kill-the-dj/